DAMAILAH NEGERIKU........ SEJAHTERALAH BANGSAKU........ JAYALAH INDONESIAKU

Kamis, 20 Juli 2017




.....سْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ.....


     Ini adalah blog pertama saya, mungkin apa yang ada di dalam blog saya ini tidak begitu penting bagi anda, tapi setidaknya bisa menjadi pembelajaran terutama buat diri saya sendiri.

     Saya memiliki keluarga kecil yang bahagia, karena di dunia ini tidak ada yang lebih berharga dibandingkan dengan kebahagiaan. Keluarga adalah segala galanya untuk saya, mereka selalu ada disaat susah dan senang, serta disaat sedih dan bahagia. Ya Allah..... terima kasih Engkau telah memberikan segala galanya kepada kami.

















Didik Setiyawan dilahirkan di Magelang Jawa Tengah, anak kedua dari 2 bersaudara. Menempuh pendidikan dari TK sampai dengan SMA di Ambon, karena mengikuti orang tua berdinas.
Tamat SMA mulailah kehidupan berkeliling Indonesia menunaikan kewajiban sebagai abdi negara.




Meraih mimpi dan harapan

Juli 1995 dimulailah perjalanan dengan mendaftar AKABRI dan akhirnya diterima menjadi Taruna Akademi Angkatan Laut, sampai kemudian lulus pada tahun 1998, dilantik menjadi Perwira Pertama TNI-AL. Beberapa kali penugasan di Pulau Sumatra, dan sekarang diberi kesempatan untuk berdinas di Ibukota. Sesuai semboyan Joint The Navy To Sea The World....... walaupun baru beberapa negara saja sih......

Alhamdulillah, kini saya telah di karuniai seorang istri (Mira) dan seorang anak (Raya.... adhitakarya-mnbs.blogspot.com , yang menjadi sahabat dalam suka dan duka serta yang selalu memberi keceriaan setiap hari.

Ya Allah..... Lindungilah selalu keluargaku, orang tuaku, istri dan anakku........ terima kasih Ya Allah.....
Aminnnnnnn.....YRA


Alhamdulillah..... Nikmat yang terkira dari Allah SWT, telah lahir putri kedua kami "Aishwarya Astagina Sekarlangit Kinanti Setiyawan" pada tanggal 15 Juni 2016, yang menambah lengkap keluargaku...... Terima kasih ya Allah.......


SISTEM LOGISTIK NASIONAL YANG TERINTEGRASI MELALUI SUPPLY CHAIN MANAGEMENT SEBAGAI LANDASAN UTAMA BANGSA INDONESIA DALAM MEWUJUDKAN POROS MARITIM DUNIA.


Potensi Bangsa
Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sejarah.  UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) telah mempertegas posisi kewilayahan Indonesia sebagai wilayah kepulauan, dalam satu kesatuan wilayah antara daratan dan lautan. Laut di Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote, dengan garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia (± 81.000 km) menjadikan Indonesia menempati urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Kekuatan inilah yang merupakan  prospek dan potensi luar biasa untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas lautannya lebih besar dua pertiga daripada daratan . Berdasarkan fakta tersebut, Indonesia dapat diibaratkan memiliki “harta yang terpendam” di dasar maupun di permukaan laut, yaitu sumber daya dan lalu lintas perairannya.
Suatu hal yang membanggakan bagi Indonesia karena diberkahi kekayaan hayati dari dasar laut sejak zaman dahulu. Sebagai negara maritim, seharusnya Indonesia sudah memiliki landasan kuat dalam menghadapi tantangan masyarakat ekonomi ASEAN dari segi sumber daya maupun hubungan internasional. Namun  beberapa pihak mengatakan, Indonesia masih belum layak untuk mendapatkan sebutan negara maritim, dilihat dari kebijakan pemerintah yang sering tidak konsisten dengan lapangan serta pandangan bangsa Indonesia terhadap negaranya sendiri.
Lagu  Nenek Moyangku Seorang Pelaut merupakan bukti bahwa Bangsa Indonesia sudah mengetahui dan menyadari bahwa pelayaran adalah kegiatan dalam bidang kelautan yang sudah menjadi salah satu mata pencaharian bangsa Indonesia sejak zaman dahulu. Pelayaran sebagai salah satu komponen Sistem Logistik Nasional memiliki peran yang cukup besar bagi Indonesia, antara lain hubungan internasional dan mata pencaharian. Hal ini sejalan dengan politik luar negeri pemerintah yakni Poros Maritim Dunia.

Pentingnya Sistem Logistik Nasional
Sistem logistik memiliki peran strategis dalam mensinkronkan dan menyelaraskan kemajuan antar sektor ekonomi dan antar wilayah demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif, sekaligus menjadi benteng bagi kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional (national economic authority and security). Peran strategis Sistem Logistik Nasional tidak hanya dalam memajukan ekonomi nasional, namun sekaligus sebagai salah satu wahana pemersatu bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sistem Logistik Nasional yang efektif dan efisien diyakini mampu mengintegrasikan daratan dan lautan menjadi satu kesatuan yang utuh dan berdaulat, sehingga diharapkan dapat menjadi penggerak bagi terwujudnya Indonesia sebagai negara maritim.
Sejalan dengan itu, berdasarkan kondisi geografis Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000  pulau yang terbentang sepanjang 1/8 garis khatulistiwa dengan kekayaan alam yang melimpah dan menghasilkan komoditas strategis maupun komoditas ekspor. Kondisi ini semestinya mampu menjadikan Indonesia sebagai “supply side” yang dapat memasok dunia dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki dan hasil industri olahannya, sekaligus menjadi pasar yang besar atau “demand side” dalam rantai pasok global karena jumlah  penduduknya yang besar. Sehingga dibutuhkan Sistem Logistik Nasional yang terintegrasi, efektif dan efisien untuk mendukung terwujudnya peranan tersebut.
Oleh karena itu, Sistem Logistik Nasional diharapkan dapat berperan dalam mencapai sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), menunjang implementasi MP3EI, serta mewujudkan visi ekonomi Indonesia tahun 2025 (RPJPN) yaitu “Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur”
Visi yang ingin diwujudkan dalam Pengembangan Sistem logistik Nasional Poros Maritim adalah: “Locally Integrated & Globally Connected for National Competitiveness and social welfare”, yaitu terwujudnya sistem logistik nasional yang secara lokal terintegrasi dan secara global terhubung dengan pusat-pusat pertumbuhan perekonomian dunia dalam rangka mewujudkan daya saing nasional dan kesejahteraan masyarakat . Locally Integrated memiliki arti bahwa secara domestik akan menyatukan seluruh aktivitas logistik di Indonesia secara efektif dan efisien mulai dari tingkat pedesaan (rural), perkotaan (urban) sampai ke tingkat antar pulau (inter island) menjadi satu kesatuan yang terintegrasi yang akan membawa kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Integrasi Nasional melalui jaringan logistik “Node & Arc” (“Node” adalah ports, terminals, warehouses, dll, dan “Arc” adalah roads, highways, rails, ocean vessels, dll.). Jaringan logistik ini nantinya akan merupakan suatu jaringan yang mengikat antar kawasan industri dan bisnis dengan masyarakat perkotaan dan pedesaan. Pada tahun 2025, secara nasional harus sudah terbangun jaringan yang mengikat kuat kawasan-kawasan industri dan perkotaan. Titik-titik penting (simpul logistik) berupa pelabuhan, bandar udara, terminal, kawasan pergudangan harus terintegrasi secara efektif dan efisien dengan jaringan jalan raya, jalan Tol, Jalur Kereta Api, jalur pelayaran dan jalur penerbangan sehingga perekonomian rakyat akan dapat berkembang dengan lebih cepat. Visi ini mencerminkan Sistem Logistik Nasional dapat menyatukan seluruh wilayah dan segala kepentingan logistiknya untuk menjadi satu kekuatan, mengingat Indonesia sebagai negara yang sangat besar, yang terhampar dari Sabang hingga Merauke.
Sedangkan globally connected mengandung makna bahwa pada tahun 2025 sistem logistik domestik yang efektif dan efisien akan terhubung dengan sistem logistik global. Koneksi internasional ini tercipta melalui jaringan logistik “gateways”, yaitu ports, customs, trade/industry facilitations, dll. Dengan demikian, Indonesia harus responsif terhadap perubahan yang terjadi di tingkat global. Adanya tekanan komitmen di tingkat regional maupun global, perubahan peta pasar, persaingan, peraturan tentang transportasi multi-modal, perkembangan teknologi informasi, keamanan dan adanya keterbatasan kapasitas menuntut bangsa Indonesia untuk lebih aktif merebut peluang- peluang yang ada, baik pada tataran regional maupun pada tataran global. Indonesia harus secara aktif mempromosikan dirinya dan membangun kemudahan arus barang baik untuk masuk ke Indonesia (impor) khususnya untuk bahan baku dan yang lebih utama lagi untuk barang keluar dari Indonesia (ekspor).
Atas substansi visi pengembangan sektor logistik di atas, maka keberadaan konsep Poros Maritim Dunia dan Tol Laut, menjadi sangat relevan, bahkan dapat berperan menjadi sebuah engine yang kuat bagi terwujudnya daya saing nasional yang semakin baik melalui efisiensi pengelolaan sistem logistik nasional.
Isu yang paling utama di sektor logistik saat ini adalah biaya logistik Indonesia yang sangat tinggi. Berdasarkan beberapa publikasi lembaga riset, biaya logistik nasional diketahui mencapai 27% dari GDP (gross domestic product), sebuah angka yang sangat besar (mencapai nilai lebih dari Rp. 2.000 Triliun). Bagaimana menurunkan biaya logistik ini secara bertahap dan konsisten adalah tantangan nyata yang sudah menjadi pengetahuan umum. Persoalannya, ternyata tidaklah mudah untuk mewujudkan Sistem Logistik Nasional yang efektif dan efisien. Beberapa fakta empiris berikut ini mencerminkan tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan sektor logistik di Indonesia di tengah arus perubahan global, yang dirangkum dari berbagai diskusi dengan para komunitas logistik nasional, antara lain :
1. Pemberian Subsidi untuk operasional kapal-kapal yang melintas di jalur tol
2. Jadwal yang terukur (Estimated Time Arrival dan Estimated Departure Time)
3. Membangun industri dan simpul2 infrastruktur
4. Terminologi tol laut perlu diselaraskan dengan semangat kemaritiman, termasuk kelembagaannya secara tepat
5. Kebijakan di sektor energi
6. Kebijakan nasional di sektor logistik masih bersifat parsial dan sektoral sehingga mengakibatkan pengelolaan sektor ini menjadi tidak efektif dan cenderung tidak efisien. Kondisi ini tercermin dari belum adanya national policy secara khusus tentang logistik, industri yang sangat fragmented dan masih sangat tergantung pada infrastruktur regional, khususnya Singapura dan Malaysia;
7. Pembinaan aktivitas logistik nasional dilaksanakan oleh multi institusi dan lembaga dengan visi dan orientasi yang berbeda-beda, dan bahkan diatur dengan basis kebijakan dan pengaturan yang berbeda-beda juga, sehingga dalam pelaksanaannya sering dihadapkan pada berbagai masalah yang berkaitan dengan aspek koordinasi;
8. Dari sisi Pelaku Usaha (player)s, kegiatan logistik di Indonesia umumnya masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional atau setidaknya oleh perusahaan-perusahaan nasional yang berafiliasi dengan perusahaan-perusahaan multinasional;
9. Logistics Service Providers (LSP) di Indonesia pun terfragmentasi dalam sebaran kegiatan logistik mulai dari transportasi, pergudangan, freight forwarding, kargo, kurir, shipping, konsultansi, dan sebagainya, sehingga tidak ada satu perusahaan pun yang menguasai pasar secara dominan. Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa di setiap sub sektor kegiatan logistik, perusahaan yang dianggap sebagai pemimpin pasar (market leader) maksimum hanya menguasai pangsa pasar antara 13% sd 16%;
10. Pengendali infrastruktur logistik nasional (pelabuhan, bandara, stasiun, pergudangan, kepabeanan, sistem information and technology dan sebagainya) sebahagian besar berada di tangan perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN), yang pengelolaannya belum terkoordinasi dan terintegrasi, bahkan dalam beberapa hal dikelola dengan orientasi hanya untuk sekedar profit making oriented, bukan untuk kepentingan masyarakat luas.
Dengan beberapa tantangan di atas, maka keberadaan Konsep Poros Maritim dan Tol Laut diharapkan menjadi sebuah entry point untuk mulai melakukan langkah yang signifikan untuk menurunkan biaya logistik nasional, yang secara paralel harus terkoordinasi dan terintegrasi dengan kebijakan terkait lainnya. [Konsistensi Visi Pengembangan Sektor Logistik Nasional Poros Maritim]

Selain sistem logistik nasional yang baik, perdagangan juga memiliki hubungan erat dengan pendekatan Manajemen rantai pasok (Supply Chain Perusahaan Pelayaran Nasional Pemerinta Investor Lembaga Pendidikan dan Industri Golongan Kapal Nasional Pelabuhan Industri Komponen Otomotif Nasional Komunikasi dan Informasi Management). Menurut Simchi-Levi (2003) dalam Rahmasari (2011), Supply Chain Management adalah suatu pendekatan yang membuat integritas komponen– komponen yang terlibat dalam suatu produksi dapat didistribusikan dalam jumlah dan waktu yang tepat serta mengecilkan pengeluaran biaya dan memberikan kepuasan terhadap konsumen. Supply Chain Management dapat diibaratkan sebuah  payung yang menaungi proses dimana produk tersebut dibuat dan disampaikan kepada konsumen.
Supply Chain Management adalah sebuah pendekatan yang menguntungkan  pihak produsen dan konsumen. Produsen membuat produk dengan kualitas dan harga yang baik sehingga dapat memberikan kepuasan kepada konsumen. Supply Chain Management (SCM) yang baik dalam suatu perusahaan dinilai dapat meningkatkan keunggulan kompetitif sebuah industri (Sumber: Marlien, 2012). Berdasarkan uraian di atas, terdapat hubungan yang erat antara sistem angkutan logistik di Indonesia dengan Supply Chain Management di sektor– sektor industri yang berhubungan dengan pelayaran dan kelautan. Pelayaran adalah industri yang dapat menjadi komponen dalam sistem angkutan nasional. Tidak hanya jalur darat, jalur laut juga dapat digunakan untuk mengirimkan produk– produk logistik di Indonesia untuk diperkenalkan dan dipasarkan di luar negeri. Singkatnya, sistem angkutan logistik juga menjadi salah satu komponen yang turut membantu dalam proses berjalannya Supply Chain Management. Sebaliknya, Supply Chain Management yang baik dan terintegrasi dapat membuat kualitas logistik yang baik dan memuaskan konsumen sehingga keadaan logistik yang memprihatinkan di Indonesia dapat ditingkatkan perlahan–lahan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya Manajemen Logistik yang merupakan bagian dari proses rantai pasok yang berfungsi untuk memantau keseluruhan proses dari bahan mentah sampai menjadi produk yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Dengan demikian, selain mengangkat kejayaan lalu lintas  perairan, Indonesia juga mendapat landasan yang kuat untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Mengingat kegiatan utama logistik adalah menggerakkan barang (komoditas), maka paradigma yang digunakan adalah “ship follows the trade” , namun demikian juga mempertimbangkan letak geografis Indonesia yang luas dan keterbatasan keterjangkauan untuk beberapa daerah dan wilayah tertentu, maka digunakan paradigma “ship promotes the trade” . Selanjutnya dalam menyusun profil, strategi, program, dan rencana aksi digunakan pendekatan 6 (enam) kunci penggerak utama (key drivers) logistik, yaitu:
1. Komoditas Utama (Key Commodity)
2. Infrastruktur Logistik
3. Pelaku dan Penyedia Usaha
4. Sumber Daya Manusia (SDM) Logistik
5. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
6. Harmonisasi Regulasi.
Peran dan fungsi infrastruktur transportasi adalah memperlancar pergerakan arus barang secara efektif dan efisien serta dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim, yang mempunyai kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional (national economic security and souverignty), dan sebagai wahana pemersatu bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Ketersediaan jaringan infrastruktur transportasi yang memadai merupakan faktor penting untuk mewujudkan konektivitas lokal (local connectivity), konektivitas nasional (national connectivity), dan konektivitas global (global connectivity).
Wilayah kepulauan Indonesia yang terbentang sepanjang 3.977 (tiga ribu sembilan ratus tujuh puluh tujuh) mil atau 6.363 (enam ribu tiga ratus enam puluh tiga) km, antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, merupakan tantangan besar bagi sektor logistik karena sulitnya memberikan jasa layanan logistik ke semua wilayah di berbagai pulau. Untuk itu, perlu diterapkan Konsep Logistik Maritim Indonesia yang berlandaskan kepada cara pandang wilayah NKRI sebagai sebuah negara yang terdiri dari ribuan pulau yang disatukan oleh laut, dan bukan dipisahkan oleh laut. Oleh sebab itu, pengembangan sistem logistik nasional akan berlandaskan kepada konsep Wilayah Depan dan Wilayah Dalam yang berada dalam bingkai wilayah kesatuan NKRI.


Sistem logistik di Indonesia harus mampu mendukung peningkatan daya saing pelaku bisnis. Bukan hanya permasalahan biaya logistik yang tinggi, tetapi juga berkenaan dengan konektivitas nasional yang belum terintegrasi. Para pelaku usaha membutuhkan adanya kelancaran arus barang secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan distribusi, terlebih lagi untuk arus ekspor barang yang kerap membutuhkan waktu ekstra dan memiliki tenggat waktu sesuai dengan perjanjian dengan pihak asing.
Pengembangan daya saing infrastruktur logistik dan transportasi menjadi salah satu kunci penting bagi peningkatan daya saing Indonesia dalam menghadapi pasar bebas. Di antaranya dengan membenahi daya saing infrastruktur transportasi, peningaktan kapabilitas penyedia jasa logistik, termasuk bagi moda angkutan laut dan jasa kepelabuhan yang selama ini menjadi tumpuan bagi angkutan  perdagangan dan ekonomi nasional. Termasuk menyiapkan berbagai sarana pra sarana pendukung, seperti penerapan teknologi informasi (TI) untuk sistem layanan dokumen berbasis elektronik (electronic data interchange), terlebih menghadapi perdagangan pasar bebas, seperti Asean Economic Community (AEC) yang sudah di depan mata. Karena itu. salah satu pekerjaan besar  yang harus dilakukan Indonesia saat ini terkait perdagangan global, yakni pembangunan Sistem Logistik Nasional melalui infrastruktur multimoda secara terpadu. Untuk itu penyediaan sistem distribusi logistik dengan mengandalkan transportasi laut dan pelabuhan sebagai andalan utamanya. Melalui program ini, diharapkan dapat mempercepat pemerataan ekonomi Indonesia, sekaligus meningkatkan daya saing logistik nasional agar biaya pengiriman barang menjadi lebih kompetitif.
Sesuai dengan konsep kekuasaan negara yaitu mempengaruhi rakyat dimana rakyat punya banyak pilihan; serta konsep bahwa kekuasaan negara itu merupakan kekuatan memaksa secara sah, maka aktualisasi kekuasaan  negara  (dengan mudah diketahui bahwa) ia membutuhkan dukungan  manajemen logistik,  atau secara sederhana tergambarkan dalam bentuk kegiatan distribusi.  Sesuai dengan konsep kebijakan publik  maka salah satu ciri kebijakan pubik  yatiu memiliki orientasi mendistribusikan  sumberdaya negara serta mengumpulkan sumberdaya negara. Kedua konsep ini pada hakekatnya berkaitan erat dengan ciri manajemen logisitik.  Salah satu bentuk kegiatannya ialah  maritime logistic.
Sistem Logistik Nasional juga diharapkan dapat membantu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam menyusun rencana pembangunan khususnya di bidang logistik dan infrastruktur, serta meningkatkan transparansi dan koordinasi lintas kementerian dan lembaga di tingkat pusat maupun daerah.
Sistem Logistik Nasional juga dapat membantu pelaku usaha untuk meningkatkan daya saingnya melalui penciptaan nilai tambah yang lebih tinggi dengan biaya yang kompetitif, meningkatkan peluang investasi bagi usaha besar, menengah, kecil dan mikro, serta membuka peluang bagi pelaku dan penyedia jasa logistik nasional untuk menggalang kerjasama dalam skala regional dan global.
Pada tataran konektivitas regional dan global terdapat perkembangan kerjasama lintas batas yang perlu diperhatikan terutama adalah komitmen kerjasama pembangunan di tingkat ASEAN dan APEC.  Meskipun target integrasi bidang logistik di kawasan ASEAN telah berakhir tahun 2013, Indonesia masih perlu mempersiapkan diri dan mengejar ketertinggalan khususnya dalam mencapai integrasi pasar tunggal ASEAN tahun 2015, sedangkan dalam konteks global WTO, Indonesia perlu mempersiapkan diri menghadapi integrasi pasar bebas global tahun 2020.


Mencermati ketertinggalan Indonesia saat ini, penguatan konektivitas nasional akan memastikan terintegrasinya Sistem Logistik Nasional secara domestik, terhubungnya dengan pusat-pusat perekonomian regional, ASEAN dan dunia (global) dalam rangka meningkatkan daya saing nasional. Hal ini sangat penting dilakukan guna memaksimalkan keuntungan dari keterhubungan regional dan global (regionally and globally connected).
Laut bisa jadi pemisah namun bisa juga penghubung dengan konektivitas yang baik. Konektivitas dalam hal ini adalah konektivitas institusional (sering disebut soft infrastructure), konektivitas fisik (hard infrastructure) dan konektivitas perorangan (people-to-people connectivity). Konektivitas institusional ASEAN – terdiri dari liberalisasi dan mempermudah perdagangan, liberalisasi dan kemudahan dalam investasi dan jasa, perjanjian saling mengakui, perjanjian transportasi regional, prosedur lintas batas serta program pengembangan kapasitas – pada akhirnya ditujukan mencapai Masyarakat ASEAN. Berbagai kerjasama regional pun sudah dilakukan dan sudah terdapat berbagai kesepakatan regional. Dalam Master Palan on ASEAN Connectivy bahkan sudah dirinci tahapan-tahapan untuk mencapai konektivitas kawasan ini. Mengingat 80 persen volume perdagangan global melalui laut, sudah sepantasnya trasportasi maritim mendapat perhatian khusus sebagai tulang punggung logistik kawasan. Sayangnya, di kawasan ini hanya Singapura dan Malaysia yang memiliki konektivitas (terutama dalam hal infrastruktur) yang yang efektif dan efisien dalam mendukung perdagangan global. Hal ini tentunya menjadi pekerjaan rumah yang penting bagi ASEAN untuk membenahi infrastrukturnya guna mencapai kawasan yang saling terhubung. Sementara itu, dalam tataran nasional, sistem logistik nasional merupakan salah satu komponen konektivitas nasional yang memiliki peran strategis dalam menyelaraskan kemajuan sektor ekonomi dan antarwilayah demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi. Kearah external, Indonesia harus responsif terhadap perubahan yang terjadi di tingkat global. Adanyatekanan komitmen di tingkat regional maupun global, perubahan peta pasar, persaingan, peraturantentang transportasi multi-modal, perkembangan teknologi informasi, keamanan dan adanyaketerbatasan kapasitas menuntut kita untuk lebih aktif untuk merebut peluang-peluang yang ada.Indonesia juga sigap merebut peluang-peluang yang ada dalam tataran global. Indonesia harus secara aktif mempromosikan dirinya dan membangun kemudahan arus barang baik untuk masuk keIndonesia (khususnya untuk bahan baku) dan lebih utama lagi untuk barang keluar dari Indonesia.
Untuk itulah sangat di perlukan Sistem Logistik Nasional yang terintegrasi melalui supply chain management sebagai landasan utama bangsa indonesia, sesuai kebijakan pemerintah dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Harapan
Sistem Logistik Nasional yang diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk realisasi tujuan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN), untuk mendukung pelaksanaan MP3EI, oleh karena itu, aktualisasi visi ekonomi indonesia tahun 2025 (RPJPN). “mandiri, Maju, Adil dan indonesia sejahtera” pada tahun 2025, sebagai kegiatan logisatik utama adalah memastikan aliran barang, kebijakan nasional tidak hanya mendorong “kapal mengikuti perdagangan” tapi juga “kapal mempromosikan perdagangan” kebijakan untuk menyeimbangkan angkutan bandar lalu lintas karena jangkaan geografis indonesia yang luas dimana akses ke beberapa daerah dan wilayah terbatas. Kebijakan tersebut juga untuk memberikan prioritas kepada dasar dan strategi distribusi barang diseluruh nusantara untuk mengurangi kesenjangan harga/ketersediaan dikarenakan ruang lingkup geografis dan lingkaran maslaah. Kebijakan logistik tersebut termasuk juga pemberdayaan aktor logistik (seperti produsen, wholesaler, distributor, pengecer dan agen) serta penyedia layanan logistik. Atas substansi visi pengembangan sektor logistik di atas, maka keberadaan konsep Poros Maritim Dunia dan Tol Laut, menjadi sangat relevan, bahkan dapat berperan menjadi sebuah engine yang kuat bagi terwujudnya daya saing nasional yang semakin baik melalui efisiensi pengelolaan sistem logistik nasional.

Catatan: Diambil dari berbagai sumber

Kamis, 26 Mei 2016

Studi Kasus Strategi Amerika Serikat dan Jepang dalam Perang Leyte 1944


1.         Topik.

Studi Kasus Strategi Amerika Serikat dan Jepang  dalam Perang Leyte 1944

2.         Latar Belakang.

            a.         Umum.
1)         Perang Leyte (The Battle of Leyte Gulf)  terjadi di sebelah Utara Pulau Mindanao pada  bulan  Oktober  1944  merupakan  pertempuran  antara  kekuatan  laut  dan udara  Amerika  yang  melaksanakan  operasi  pendaratan  (Operasi  Amfibi)  di Teluk  Leyte  melawan  kekuatan  armada  laut  Jepang  yang  berupaya mempertahankan  wilayah  Philipina  yang  telah  dikuasai.  Sandi  operasi  Jepang untuk  menggagalkan  operasi  pendaratan  Amerika  di  Leyte  adalah  “Sho-go”( 1号作戦 Sho Ichigo sakusen atau Operasi  Kemenangan). Pertempuran tersebut terdiri dari empat pertempuran yang terpisah antara pasukan yang berlawanan: Pertempuran Laut Sibuyan, Pertempuran Selat Surigao, Pertempuran Tanjung Engaño dan Pertempuran Samar, serta aksi lainnya.
2)         Jepang menganggap Filipina sangat penting, sebab cukup kaya akan sumber daya alam serta rute pendekat menuju ke Indonesia dan Malaysia untuk  mengeksploitasi minyak bumi dan sumber alam lainnya guna memasok kebutuhan bagi Jepang. Amerika dan sekutunya sangat sadar bahwa untuk melemahkan kekuatan Jepang adalah dengan memutus suplai kebutuhan logistiknya, terutama dari Indonesia. Caranya adalah dengan menghancurkan kekuatan Jepang yang ada di Filipina.
3)         Tujuan utama Amerika dari penyerbuan ke Filipina itu adalah untuk menguasai Lembah Leyte. Di sinilah MacArthur bermaksud membangun kompleks pangkalan udara, gudang perbekalan dan tempat untuk mempersiapkan pasukan, karena dari pangkalan ini, pesawat terbang Amerika dapat menyerang pasukan Jepang di manapun serta dapat menjangkau pantai Taiwan serta Cina, bahkan mereka akan sanggup pula memutuskan urat nadi Jepang ke Asia Tenggara. Harapan besar ini terungkap pada petunjuk Mac Arthur kepada Jenderal Krueger, panglima Angkatan Darat Keenam. Bahwa dalam lima hari setelah mendarat, Krueger harus membangun pangkalan udara untuk dua kelompok pesawat pemburu, satu skuadron pernburu malam, satu kelompok pembom menengah dan beberapa skuadron patroli serta pengintai. Pada akhir bulan Oktober, Leyte diharapkan dapat menampung tambahan satu skuadron pemburu, dua kelompok pembom ringan dan satu skuadron penyelamat laut dan udara. Pada awal Desember pembom berat dijadwalkan mulai bertugas dari pulau ini.
4)         Invasi ke Teluk Leyte merupakan puncak operasi amfibi terbesar yang pernah digelar oleh Amerika di wilayah Pasifik. Dibawah pimpinan Jenderal Mac Arthur sebagai Panglima Tinggi yang membawahi kesatuan Laut, Udara dan Darat yang diambil dari kekuatan Armada ke tujuh di Pasifik dibawah pimpinan Laksamana Madya Thomas C. Kinkaid. Dengan 701 Kapal, yang terdiri dari 157 kapal perang dan sisanya adalah kapal angkut pasukan pendarat. Dengan menganalisa perang Leyte yang dilaksanakan oleh Amerika tersebut, diharapkan akan dapat diambil manfaatnya bagi TNI AL ditinjau dari aspek pengembangan strategi.

            b.         Kronologis Kejadian.
1)         Pada tanggal 20 Oktober 1944, Jenderal Douglas MacArthur mendarat di Pulau Leyte dan dimulailah operasi di Leyte untuk membebaskan Filipina dari pendudukan Jepang.
2)         Pada tanggal 23 Oktober 1944, kapal selam AS menyergap Pusat Angkatan Bersenjata Jepang di Passage Palawan.
3)         Pada tanggal 24 Oktober 1944, pesawat Jepang menyerang Armada Ketiga Amerika. Setelah serangan itu selesai, AS kehilangan kapal induk ringan Princeton.
4)         Pada tanggal 24 Oktober 1944, terjadi pertempuran Laut Sibuyan. Kekaisaran Jepang akan kehilangan kapal perang Musashi selama pertempuran.
5)         Pada tanggal 24-25 Oktober 1944, Pertempuran Selat Surigao. yang dimana kekuatan Angkatan Laut Amerika mampu mengalahkan Southern Force Jepang.
6)         Pada tanggal 24-25 Oktober 1944, Northern Force Jepang termakan umpan Admiral Halsey Task Force 38 North dan meninggalkan Selat San Bernardino tidak terjaga.
7)         Pada tanggal 25 Oktober 1944, kekuatan cruiser Admiral Shima gagal untuk mendukung Southern Force Jepang.
8)         Pada tanggal 25 Oktober 1944, terjadi pertempuran di Samar. Pesawat dan kapal Amerika mengalahkan Center Force Jepang dalam aksi udara dan permukaan.
9)         Pada tanggal 25 Oktober 1944, terjadi pertempuran di Cape Engaño yang akan mengakibatkan Northern Force Jepang yang hancur


3.         Analisis Kejadian.
Analisa dilakukan terhadap strategi yang dilakukan oleh Sekutu dalam hal ini Amerika di teluk Leyte berdasarkan pada tahap-tahap penyelengaraan perang, yaitu:
a.            Tahap Persiapan.
1)         Amerika menerapkan 3 konsep strategi yang bertujuan untuk mengalihkan perhatian Jepang, yaitu dengan konsep[1] :
a)         Mac Arthur Line        : Adalah garis dari kepulauan Solomon ke Filipina menuju ke Jepang.
b)         The Northern Line    : Adalah garis dari Kanada ke Kepulauan Aleutian menuju Kepulauan Kurillen Jepang.
c)         The Central Line      : Adalah garis langsung dari Pantai Barat Amerika melalui Samudera Pasifik ke Jepang.
2)         Sejak bulan September sampai dengan awal Oktober 1944 pesawat tempur dari Armada ke-3 Amerika dibawah pimpinan Admiral WF. Halsey  telah mampu mengahancurkan kekuatan udara dan laut Jepang di Formosa, Okinawa dan Filipina. Hal ini yang melandasi keputusan bahwa operasi amfibi dapat digelar di Leyte, karena karakteristik pantai memiliki gradien yang memenuhi syarat untuk dilaksanakannya operasi amfibi.
3)         Dalam rangka mempersiapkan dan melaksanakan Operasi Amfibi di Leyte, Jenderal Mac Arthur mengorganisasi pasukannya menjadi[2] :
a)         Sebagai pasukan pendarat adalah : Amphibious Task Force ke-3 dan Amphibious Task Force ke-7, yang terdiri dari 250.000 tentara.
b)         Sebagai Pendukung adalah Armada ke-7 USN (The 7Th Fleet) dibawah pimpinan Laksda Kinkait, terdiri dari 3 Task Group.
c)         Sebagai Pelindung adalah Armada ke-3 USN (The 3Th Fleet) dibawah pimpinan Laksda Halsey, terdiri dari kapal-kapal combatan yang telah tua, 20 kapal destroyer, kapal induk ringan, kapal MTB dan Kapal unit bantuan transport.
                                    4)         Penentuan waktu dan tempat pendaratan, yaitu waktu pendaratan direncanakan antara tanggal 20 s/d 30 Oktober 1944, ini didasarkan pada data intelijen yang diperoleh tentang hidro oceanografi, terbit tenggelam matahari dan  situasi perkembangan musuh, saat itu paling tepat untuk dilaksankannya pendaratan.
5)         Mengantisipasi rencana pendaratan Amerika di Teluk Leyte tersebut, Jepang menyiapkan operasi Sho-Go dengan membagi 3 Armada menjadi :
a)         Northern Forces dibawah pimpinan Laksda Ozawa yang bertugas menuju Filipina Utara guna memancing Armada ke-3 Amerika agar meninggalkan daerah perairan Filipina, sehingga tidak bisa memberikan perlindungan terhadap ATF- 3 dan 7 yang akan mendarat.
b)         The Central Force dibawah Laksda Kurita dari Singapore akan menuju ke Filipina Utara melalui laut Sibujan dan selat Bernardino menuju ke Utara Leyte.
c)         Southern Force dibawah Laksda Nishimura dan Shima, bertugas untuk memasuki Filipina Selatan dengan melalui Selat Surigao menuju ke Teluk Leyte.  
    
b.            Tahap Pelaksanaan.
1)       Tanggal 17 Oktober 1944 , diawali dengan operasi penyapuan ranjau oleh satuan Ranger ke-6 terhadap pulau-pulau kecil di Teluk Leyte. Akibat adanya badai di sekitar wilayah tersebut operasi sempat tertunda, namun pada pukul 12.30 Pulau Suluan dan Dinagat dapat dikuasai. Sempat terjadi pertempuran kecil dengan kelompok tentara Jepang yang bertahan, namun dalam waktu singkat dihancurkan, termasuk fasilitas pemancar radio milik Jepang. Keberadaan satuan Ranger ini adalah sebagi pemandu / guide saat pendaratan amfibi nantinya.
2)       Tanggal 18 Oktober 1944, Pulau Homonhon juga dapat dikuasai oleh Pasukan Amerika tanpa ada perlawanan yang berarti dari pihak Jepang.
3)       Tanggal 20 Oktober 1944, pagi hari gelombang pertama pasukan pendarat dari Pasukan Darat ke-6 dibawah pimpinan Letjen Walter Krueger mendarat di pantai antara Bandara Tacloban sampai dengan Palo River dengan kekuatan pasukan darat sekitar 202.500 orang ditambah sekitar 3.000 gerelyawan Filipina yang dipimpin oleh Letkol Ruperto Kangleon yang telah siap di daratan Leyte. Corps X mendarat 4 mil (6,5 km) dari Tacloban, disusul pendaratan Corps Unit XXIV berjarak 3 mil (5 km)[3]. Pada pendaratan ini, Amerika tidak banyak menemui rintangan, karena sebanyak 10.500 prajurit Jepang dari Divisi ke-16 berikut pasukan lain berjumlah 11.000 prajurit telah mundur ke pedalaman untuk menghindari pemboman pantai saat awal pendaratan.[4]
4)       Tanggal 20 Oktober 1944,  Jam 13.30 secara terbatas Leyte sudah dapat dikuasai. Jenderal Mac Arthur mendarat dan mengumumkan kepada rakyat Filipina : “Rakyat Filipina, saya telah kembali, Berkat Rahmat Tuhan pasukan kami berdiri lagi di bumi Filipina. Inilah saat pembebasan kalian. Patriot kalian telah menunjukkan kesetian yang mantap dan tidak terguncangkan terhadap asas-asas kemerdekaan. Ikutilah saya, kita nyalakan terus semangat Bataan dan Coregidorn yang tak terpatahkan. Bertempurlah demi generasi penerus, demi almarhum yang kalian junjung, bertempurlah dan hendaknya setiap tangan berkekuatan baja.  
5)       Tanggal 21 Oktober 1944, tepat tengah malam, 132.000 orang dan 200.000 Ton peralatan didaratkan di pelabuhan Tacloban dan lapangan udara Dulag. Pada saat itu pula Kapal induk pengawal dari Armada ke-7 yang didalamnya terdapat pula pesawat-pesawat tempur, ditarik dari perairan Filipina karena adanya kerusakan akibat pertempuran di Leyte. Sedangkan Pesawat-pesawat dari Armada ke-3 masih disibukkan menyerang iring-iringan Jepang dan membombardir pangkalan Jepang di Luzon.
6)       Tanggal 22 Oktober 1944, Mengetahui tidak adanya cover udara oleh Amerika di Leyte, pangkalan udara di Tacloban diserbu oleh kekuatan udara Jepang, yang mengakibatkan 27 pesawat Amerika hancur.
7)       Tanggal 28 Oktober 1944, terjadi pertempuran yang sangat besar antara pasukan dari Korps X yang dipimpin oleh Mayjen Franklin Sibert dengan Jepang yang berkekuatan sekitar 45.000 orang dibawah pimpinan Jenderal Makino di wilayah Carigara.
8)       Tanggal 1 November 1944, Mayor Chuji Kaneko yang membawa pesan dari Ormoc kepada para Komandan pasukan di wilayah Carigara untuk tetap bertahan dan meningkatkan perlawanan, karena pasukan bantuan akan datang.
9)       Tanggal 24 November 1944, Amerika membombardir wilayah Carigara dengan tembakan Arteleri beratnya, dilanjutkan dengan pembersihan oleh Divisi ke-24. Namun ternyata tidak ditemukan korban dari pihak musuh, hanya rumah-rumah kosong yang berantakan dihantam tembakan.
10)     Pada minggu kedua bulan November, Resimen ke-21 Divisi ke-24 Amerika mendekati puncak tengah Bukit Bahaya Maut di Ormoc dengan iringan tank.
11)     Tanggal 16 November 1944, Prajurit Divisi ke-24 yang telah menderita banyak pukulan digantikan oleh Divisi ke-32 di Bukit Bahaya Maut dan pasukan segar itu dapat mengalahkan prajurit Je­pang dalam pertempuran sengit selama seminggu. Dalam pertern­puran selama sebulan lebih di pegunungan dan bukit di sekitarnya, Divisi ke-24 dan ke-32 menderita korban sekitar 1.500 orang tewas, dan Jepang 5.250 tentara jepang tewas.
12)     Tanggal 30 November 1944, Jenderal Mac Arthur meng­akui bahwa ia tidak memiliki dukungan udara yang memadai untuk menyerbu Mindoro sesuai jadwal dan dengan berat hati ia setuju untuk menunda operasi tersebut selama 10 hari.
13)     Tanggal 7 Desember 1944, pendaratan Divisi ke-77 di bawah pimpinan Mayjen Andrew D. Bruce.
14)     Tanggal 8 Desember 1944, 56 pesawat pemburu P-47 dari Tacloban, bersama dengan satu regu penerbang Marinir yang baru tiba, membom dan menembaki iring-iringan Jepang dan menenggelamkan sebagian besar kapalnya, sementara kira-kira 50 pesawat jepang menyerbu iring-iringan Amerika. Walau mendapat perlin­dungan dari dua skuadron pemburu P-38, dua kapal perusak Ameri­ka lenyap karena serbuan Kamikaze, dan beberapa kapal rusak he­bat. Tetapi kira-kira dua pertiga pesawat Jepang hancur, termasuk hampir semua pembom yang ditinggalkan Jepang di Filipina.
                            


 Gambar 1. Invasion of Leyte

c.            Tahap Pengakhiran.          Tepat tanggal 25 Desember 1944, Jenderal Mac Arthur mengumumkan akhir dari serbuan ke Leyte, yang mana Leyte telah dapat dikuasai sepenuhnya, komando dan pengendalian telah dapat berjalan .
Dari tahap-tahap pelaksanaan pertempuran di teluk Leyte maka disusun analisa kejadian berdasarkan strategi yang digunakan, yaitu:
a.         Analisis Kejadian untuk Pihak Amerika Serikat.
1)         Grand Strategi.         Mengisolasi Jepang dari negara-negara yang sebelumnya diduduki dalam perang dengan tujuan mencegah industri dan pasukan Jepang dari mendapatkan minyak dan perlengkapan lain yang diperlukan untuk melaksanakan perang.
2)         Strategi Militer.
a)         Strategi Dirgantara.
(1)       Tujuan.   Menguasai wilayah Philipina dan mencegah pendudukan Jepang di Philipina.
(2)       Cara.     Melaksanakan operasi udara dan perlindungan udara bagi Amerika selama pelaksanaan operasi di Teluk Leyte.
(3)       Sarana dan Prasarana.      Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Amerika untuk mendukung strategi dirgantara dalam perang Telluk Leyte kurang lebih berjumlah 1500 pesawat berbagai jenis[5].
            b)        Strategi Maritim.
(1)       Tujuan.    Mendaratkan pasukan dan menguasai wilayah Philipina serta mencegah pendudukan Jepang di Philipina.
(2)       Cara.       Mengerahkan armada laut Amerika Serikat dan bantuan dari Armada Laut Australia di perairan sekitar Teluk Leyte.
(3)       Sarana dan Prasarana.      Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Sekutu untuk mendukung strategi maritim dalam perang Teuk Leyte antara lain meliputi: 8 fleet carriers, 8 light carriers, 18 escort carriers, 12 battleships, 24 cruisers, 141 destroyers and destroyer escorts.
c)         Strategi Kontinental.

(1)       Tujuan.    Menguasai wilayah Philipina dan mencegah pendudukan Jepang di Philipina.
(2)       Cara.         Melaksanakan penyerbuan dengan pasukan darat dan kesenjataannya dalam jumlah yang cukup besar
(3)       Sarana dan Prasarana.      Pasukan darat dan kesenjataan tempur yang mendukung.
b.         Analisis Kejadian untuk Pihak Jepang.
1)         Grand Strategi.        Merebut Pulau Leyte dan menguasai Philipina sebagai jalur pasokan minyak.
2)         Strategi Militer.
a)         Strategi Dirgantara.
(1)       Tujuan.   Melaksanakan pengendalian udara dan penghancuran kekuatan udara lawan (Sekutu).
(2)       Cara.        Menghancurkan kekuatan udara dan kekuatan laut Amerika di Teluk Leyte.
(3)       Sarana dan Prasarana.      Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Jepang untuk mendukung strategi dirgantara dalam perang Teluk Leyte meliputi: pesawat pembom, pesawat pemburu dan pesawat kamikaze.
            b)        Strategi Maritim.
(1)       Tujuan.    Melaksanakan pengendalian laut dan Penghancuran kekuatan laut lawan (Sekutu).
(2)       Cara.       Menghancurkan invasi armada Amerika dan mengisolasi pasukan darat Sekutu di Leyte.
(3)       Sarana dan Prasarana.      Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Sekutu untuk mendukung strategi maritim dalam perang Teluk Leyte meliputi: 1 fleet carrier, 3 light carriers, 9 battleships, 14 heavy cruisers, 6 light cruisers,  35+ destroyers.
c)         Strategi Kontinental.
(1)       Tujuan.    Merebut dan mempertahankan Philipina.
(2)       Cara.       Menyerang kekuatan Amerika di Filipina.
(3)       Sarana dan Prasarana.      Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Jepang untuk mendukung strategi kontinental dalam perang Teluk Leyte adalah kekuatan pasukan darat dengan persenjataannya.

4.         Hal-hal Positif dan Negatif.
a.         Pihak Amerika Serikat (Sekutu).
1)         Hal-hal Positif.
a)            Taktik serta rencana yang dilaksanakan berhasil dengan baik.
b)            Proses perencanaan operasi dilakukan dengan baik sehingga pelaksanaan operasi di teluk Leyte berjalan sesuai yang di harapkan.
c)            Adanya komando tunggal dalam pengendalian operasi.
d)            Kemampuan intelijen dan komunikasi yang handal dengan minimnya tingkat kebocoran informasi ke pihak musuh.
e)            Memiliki keunggulan laut dan keunggulan udara.
f)              Adanya koordinasi yang sinergi antara unsur-unsur kekuatan udara, kapal dan pasukan pendarat.
2)         Hal-hal Negatif.
a)         Adanya rivalitas yang kurang positif antara Jenderal Mac Arthur dan Laksamana Nimitz.
b)         Masih bocornya rencana operasi ke Leyte oleh Jepang, walaupun Jepang tidak bisa mengetahui secara pasti dimana pantai pendaratannya dan kapan mendaratnya.
b.         Pihak Jepang.
1)         Hal-hal Positif.
a)            Mengetahui terlebih dahulu rencana penyerbuan / operasi amfibi ke Leyte.
b)            Jepang sebagai Negara yang menguasai wilayah tersebut sangat mengenal mandala operasinya.
2)         Hal-hal Negatif.
a)         Kemampuan intelijen Jepang untuk menganalisa kapan pelaksanaan operasi amfibi dan dimana akan mendarat kurang akurat, terbukti dengan pemusatan pasukan yang ada di pantai barat, sementara Amerika mendarat di Pantai Timur.
b)         Lemahnya sistem komunikasi Jepang.
c)         Lemahnya komando dan pengendalian oleh Jepang di lapangan.
d)         Kurangnya dukungan rakyat Filipina.

5.         Hal-hal yang Bermanfaat.                  Beberapa hal yang dapat diambil manfaatnya dari Studi Kasus Strategi Amerika Serikat dan Jepang dalam perang Leyte 1944  adalah:
a.         Aspek Edukatif. 
1)         Perencanaan yang baik hendaknya didukung dengan data intelijen yang akurat, sistem kodal dan komunikasi yang handal akan dapat menentukan keberhasian suatu operasi. Dengan memegang teguh prinsip-prinsip pertempuran yang dilandasi dengan loyalitas terhadap pimpinan, maka tujuan yang diharapkan akan tercapai.
2)            Latihan secara bertingkat dan berlanjut sangat di perlukan untuk mengkoordinasikan semua unsur kekuatan dalam satu kesatuan komando.
3)         Pelaksanakan Tactical Floor Game (TFG) sangat dibutuhkan, sehingga akan menambah kemampuan dalam mengembangkan taktik dan strategi untuk menghadapi situasi yang berkembang.
b.         Aspek Instruktif.
1)         Pengorganisasian dan pembagian tugas yang jelas oleh Panglima Komando dapat memberikan keyakinan kepada semua unsur pelaksana untuk melaksanakan tugas sesuai dengan tugas pokok yang diberikan.
2)         Dalam menjamin keberhasian suatu operasi, komando dan pengendalian memegang peranan yang sangat penting dan menentukan 
c.         Aspek Inspiratif .
1)         Berdasarkan letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan    memiliki implikasi terhadap sulitnya pengamanan wilayah yurisdiksi nasional, namun   kendala tersebut harus mampu dimanfaatkan menjadi peluang,dan dijadikan sebagai potensi penangkalan terhadap ancaman yang akan mengganggu kedaulatan Indonesia dengan pengembangan pangkalan-pangkalan Angkatan Laut di daerah yang berbatasan dengan Negara lain serta di daerah rawan konflik
2)         Data intelejen serta pelaksanaan operasi aju mutlak dibutuhkan untuk mendapatkan data secara akurat tentang cuaca, medan dan musuh.
 3)        Kalkulasi tempur yang baik sangat diperlukan sesuai data intelijen yang di peroleh agar pengerahan kekuatan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kekuatan kita mengungguli kekuatan lawan.
6.         Penutup.         
a.         Kesimpulan
Keberhasilan suatu operasi akan di capai secara maksimal apabila di rencanakan dengan matang serta dukungan dari data intelijen. Penentuan keberhasilan di mandala operasi akan di peroleh apabila kemampuan sarana dan prasarana berupa personel dan kesenjataannya dalam kondisi siap operasi serta kemampuan komando dan pengendalian juga sangat menentukan untuk menghasilkan kemenangan.




[1] Sejarah Perang Laut, NP.5005, Jakarta 1983, hal.103.
[2] Ibid,  hal.104-105.
[3]  Teknologi dan Strategi Militer 2, Rivalitas Nimitz dan MacArthur, 1997, hal.101.
[4]  Teknologi dan Strategi Militer, Perang Memperebutkan Leyte, Tahun 2000, hal.79.
[5] http://militaryhistory.about.com/ diakses pada tanggal 17April 2016 pukul 20.15