DAMAILAH NEGERIKU........ SEJAHTERALAH BANGSAKU........ JAYALAH INDONESIAKU

Selasa, 28 Januari 2014

Implementasi Filosofi Kehidupan Sunan Kalijaga dalam Berbangsa dan Bernegara



SALAH satu sosok figur yang terkenal dalam Walisongo di pulau Jawa adalah Sunan Kalijaga. Ketenaran Sunan Kalijaga ini dikarenakan beliau seorang ulama yang cerdas dan arif. Kecerdasan dan kearifan yang dimiliki membuat beliau mampu bersenyawa cepat dengan berbagai kalangan, khususnya masyarakat bawah, yang berdampak terhadap kelancaran proses penyebaran ajaran Agama Islam. Metode dakwah akomodatif berbasis kultur Sunan Kalijaga merupakan determinasi penyebaran agama Islam berlangsung efektif dan sukses, walaupun secara praktek dilakukan proses singkretisme pada aspek simbolnya, tetapi esensi ajarannya masih tetap ajaran Islam.
Proses inilah yang meluluhkan hati masyarakat untuk berpindah dari penganut Hindu menjadi pemeluk Islam. Metode ini lebih menghargai nilai-nilai luhur lokal masyarakat Jawa. Karenanya tidak heran jika penyebaran Islam yang dilakukan Sunan Kalijaga lebih diterima oleh masyarakat Jawa kuno dengan cara yang akomodatif, damai dan dengan kecerdasan pikiran serta perilaku yang arif dan wicaksana.
Sosok Sunan Kalijaga
Sunan Klijaga memiliki nama asli Raden Said, lahir pada tahun 1430-an M. Beliau merupakan putra Adipati Tuban Jawa Timur, Wilatikta atau Aria Teja IV. Sedangkan Aria Teja I sampai Aria Teja IV adalah keturunan dari Aria Adikara atau Patih Ranggalawe, salah satu Patih yang juga ikut mendirikan kerajaan Majapahit pada masa Raja Raden Wijaya.
Raden Said muda dikenal sebagai sosok yang gigih melakukan pembelaan terhadap rakyat miskin. Beliau berani menyuarakan kebenaran yang diyakininya. Pernah suatu ketika Raden Said tidak setuju dan membangkang terhadap kebijakan Ayahnya sebagai Adipati dimana puncak pembangkangannya dengan membongkar lumbung kadipaten. Padi-padi yang beliau dapat dibagi-bagikan kepada rakyat miskin Tuban yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau panjang.
Karena tindakannya itu, ayahnya mengadili Raden Said dan mengusirnya dari istana kadipaten. Raden Said baru diperbolehkan pulang jika sudah dapat menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Maksudnya bila beliau sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya, saat itulah beliau boleh pulang.
Raden Said kemudian menjadi perampok terkenal dan ditakuti di kawasan Jawa Timur dan sekitarnya. Raden Said hanya merampok orang-orang kaya raya yang tak pernah mau berzakat dan bersedekah. Hasil rampokannya tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada orang miskin. Atas tindakannya itulah, Raden Said mendapat gelar ‘Lokajaya’ atau ‘Perampok Budiman’.
Semuanya berubah ketika Raden Said bertemu Syeikh Maulana Malik Ibrahim atau dikenal dengan sebutan Sunan Bonang yang menasihatinya bahwa perbuatan baik tidak dapat diawali dengan perbuatan buruk. Sesuatu yang benar (haq) tidak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang zhalim (bathil). Akhirnya, Raden Said bertobat dan berhenti merampok.
Raden Said diperintahkan melakukan penyucian diri dengan bertapa di pinggir kali dengan syarat tidak boleh berhenti sampai Sunan Bonang selesai dan kembali dari perjalanannya. Dari sinilah nama Kalijaga diambil. Setelah Sunan Kalijaga menuntaskan pelajaran dan wejangan dari Sunan Bonang, akhirnya Raden Said diterima menjadi anggota Walisongo. Beliau kemudian menikah dengan Dewi Sarah, anak dari Kanjeng Sunan Ampeldenta.
Filosofi Kehidupan
Terdapat beberapa hal filosofi kehidupan Sunan Kalijaga yang perlu menjadi renungan kita bersama. Jika pesan-pesan falsafah hidup Sunan Kalijaga ini kita pegang dan praktekkan dalam kehidupan sehari-hari, Insya Allah, kita akan dapat selamat di dunia dan akhirat.
Isi filosofi kehidupan Sunan Kalijaga adalah: ”Lamun sira menek, aja menek andha, awit lamun sira menek andha –sira ancik-ancik untu lan tekan ndhuwur, sira ketemu alam suwung. Nanging lamun sira menek, meneka wit galinggang, sira bakal ngliwati tataran, lan ngrangkul (ngrungkepi) wit galinggang. Tekan ndhuwur sira – ketemu apa? Sira bakal ketemu woh, ya wohing galinggang.
Wohing galinggang wiwit saka ing jeroning mancung, ya kuwi manggar, sakwise kuwi dadi bluluk, terus cengkir, deghan, njur kerambil/kelapa. Perangan njaba, sira ketemu apa? Sira ketemu tepes, sing watake enteng. Perangan njero maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu batok (tempurung) sing watake atos (teguh dalam prinsip). Perangan njero maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu jatine wohing galinggang. Perangan njero maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu banyu ya banyu perwito sari. Ing sak jerone banyu, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu rasa, ya jatining rasa (rasa rumangsa). Lamun sira menek maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu janur sing tegese jatining nur, ya nur muhammad
Makna untuk Kehidupan
Adapun yang dimaksud dengan Wit Galingga adalah Pohon Kelapa. Kenapa pohon kelapa yang dijadikan contoh? Karena Pohon Kelapa itu mulai dari akarnya yang paling bawah sampai ujung daunnya yang disebut janur semuanya bermanfaat. Pohon Kelapa juga sangat kokoh dan kuat tidak pernah roboh.
Kalau kita memanjat Pohon Kelapa maka kita akan medapatkan buahnya. Kita akan bertanggung jawab, tidak sombong, tidak mudah jatuh, kita ikuti tataran yang ada dalam batang kelapa itu, kita akan selalu terus ke atas, kita akan memanjat dengan hati-hati sampai ke atas.
Lantas apa itu Tataran yang dimaksud dalam falsafah hidup Sunan Kalijaga di atas? Tataran itu dapat dimaknai sebagai aturan-aturan yang berlaku. Kalau kita ingin selamat di dunia, maka kita harus mengikuti aturan-aturan atau peraturan- peraturan dunia yang berlaku. Kalau kita ingin selamat di akhirat, maka kita harus mengikuti aturan-aturan atau peraturan-peraturan akhirat yang berlaku. Kalau kita ingin selamat di dunia dan akhirat, kita harus mengikuti aturan-aturan atau peraturan-peraturan yang berlaku di dunia dan akherat.
Buah kelapa menggambarkan secara kronologis kehidupan manusia   dari mulai manggar diibaratkan janin, bluluk bermakna bayi, cengkir bermakna balita, deghan bermakna remaja, dan kerambil/kelapa bermakna dewasa. Falsafah ini memberi pencerahan makna hidup manusia yang harus dijalankan secara hati-hati, dari mulai janin sampai dewasa. Karena pada setiap tahapan tersebut bisa saja terjadi musibah dari yang kecil sampai meninggal dunia.  Untuk itu kehati-hatian ini harus dijabarkan dalam mempersiapkan diri pada hidup dan kehidupan di dunia.  Yaitu  selalu berpegang teguh pada aturan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara agar selamat di dunia. Sejalan dengan itu juga  berpegang teguh pada aturan keagamaan berdasarkan Al Qur’an dan hadist agar selamat di akhirat nanti.  Kalau pegangan tersebut dilaksanakan secara konstisten dan konsekuen maka manusia tidak perlu gentar menghadapi takdir kematian kapan saja karena sudah siap untuk hidup dunia akhirat.
Dalam memanjat pohon kelapa, kita musti bekerja keras, hati-hati dan disiplin menelusuri tataran pohon kelapa untuk mencapai puncak hingga dapat menggapai buah pohon kelapa yang dapat diambil kemanfaatannya. Hal itu dapat kita petik hikmah bahwa dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kita harus memiliki niat yang baik, bekerja keras, mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku – baik peraturan-peraturan dunia maupun akherat – dan hati-hati untuk mewujudkan kesejahteraan, ketentraman, kedamaian, dan kemamkmuran kita, masyarakat dan bangsa.
Oleh karena itu, implementasi filosofi kehidupan Sunan Kalijaga sangat bermakna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menuju tercapainya kesejahteraan, ketentraman, kedamaian, dan kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia. Intisarinya adalah, kita sebagai bangsa harus memiliki niat yang baik, bekerja keras, mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku – baik peraturan dunia maupun akherat – dan hati-hati (tidak ceroboh) dalam menjalankan kehidupan demi tercapainya esensi rahmatan lil ’alamiin, tujuan berbangsa dan bernegara, di bumi nusantara tercinta dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.



Oleh : Letjen TNI (Purn) H. Sudi Silalahi

Menteri Sekretaris Kabinet RI