MEMBANGUN VISI MARITIM NEGARA KEPULAUAN
Ketika
Republik Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, wilayah negara
adalah tinggalan Hindia Belanda, dan belum menjadi negara kepulauan. Menurut
Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, maka batas laut
teritorial Indonesia adalah 3 mil laut dari pantai.
Dengan
demikian maka perairan antar pulau pada waktu itu adalah wilayah internasional.
Wilayah laut kita dengan rezim hukum laut seperti disebut di atas hanyalah
seluas kira-kira 100.000 km2. Secara fisik pulau-pulau Indonesia dipisahkan
oleh laut, walaupun secara kultur konsep kewilayahan kita tidak membedakan
penguasaan antara laut dan darat. Bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa
di dunia yang menamakan wilayahnya sebagai tanah air.
Pada
tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI melalui deklarasi Perdana Menteri Ir.
Djuanda mengklaim seluruh perairan antar pulau di Indonesia sebagai wilayah
nasional. Deklarasi di atas yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda,
adalah pernyataan jati diri sebagai negara kepulauan, di mana laut menjadi
penghubung antar pulau, bukan pemisah.
Klaim
ini bersamaan dengan upaya memperpanjang batas laut teritorial menjadi 12 mil
dari pantai, kemudian diperjuangkan oleh Indonesia untuk mendapat pengakuan internasional
di PBB, suatu perjuangan panjang yang meliwati 3 rezim politik yang berbeda
yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.
Kendati
prinsip negara kepulauan mendapat tentangan dari negara-negara besar seperti
Amerika Serikat, akhirnya pada tahun 1982 lahirlah Konvensi kedua PBB tentang
Hukum Laut (2nd United Nations Convention on the Law of the Sea, disingkat
UNCLOS) yang mengakui konsep negara kepulauan, sekaligus juga mengakui konsep
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diperjuangkan oleh Chili dan negara-negara
Amerika Latin lainnya.
Setelah
diratifikasi oleh 60 negara maka UNCLOS kemudian resmi berlaku pada tahun 1994.
Berkat perjuangan yang gigih dan memakan waktu, Indonesia mendapat pengakuan
dunia atas tambahan wilayah nasional sebesar 3,1 juta km2 wilayah perairan dari
hanya 100.000 km2 warisan Hindia Belanda, ditambah dengan 2,7 juta km2 Zone
Ekonomi Eksklusif yaitu bagian perairan internasional dimana Indonesia
mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk yang ada
di dasar laut dan di bawahnya.
Konsep
Negara Kepulauan (Nusantara) memberikan kita anugerah yang luar biasa. Letak
geografis kita strategis, di antara dua benua dan dua samudra dimana paling
tidak 70% angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah dan Asia
Selatan ke wilayah Pasifik, dan sebaliknya, harus melalui perairan kita.
Wilayah laut yang demikian luas dengan 17.500-an pulau-pulau yang mayoritas
kecil memberikan akses pada sumber daya alam seperti ikan, terumbu karang
dengan kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wilayah wisata bahari,
sumber energi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, mineral langka dan juga
media perhubungan antar pulau yang sangat ekonomis.
Panjang
pantai 81.000 km (kedua terpanjang di dunia setelah Canada ) merupakan wilayah
pesisir dengan ekosistem yang secara biologis sangat kaya dengan tingkat
keanekaragaman hayati yang tinggi. Secara metereologis, perairan nusantara
menyimpan berbagai data metrologi maritim yang amat vital dalam menentukan
tingkat akurasi perkiraan iklim global. Di perairan kita terdapat gejala alam
yang dinamakan Arus Laut Indonesia (Arlindo) atau the Indonesian throughflow
yaitu arus laut besar yang permanen masuk ke perairan Nusantara dari samudra
Pasifik yang mempunyai pengaruh besar pada pola migrasi ikan pelagis dan
pembiakannya dan juga pengaruh besar pada iklim benua Australia.
****
SAYANGNYA
keuntungan yang luar biasa di atas sebagai konsekuensi jati diri bangsa
nusantara tidak disertai dengan kesadaran dan kapasitas yang sepadan. Bangsa
Indonesia masih mengidap kerancuan identitas. Di satu pihak mempunyai persepsi
kewilayahan tanah air, tetapi memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa
agraris dengan puluhan juta petani miskin yang tidak sanggup kita sejahterakan,
sedangkan kegiatan industri modern sulit berkompetisi dengan bangsa lain,
antara lain karena budaya kerja yang berkultur agrarian konservatif, disamping
berbagai inefisiensi birokrasi dan korupsi.
Industri
pun kita bangun tidak berdasar pada keunggulan kompetitif namun pada keunggulan
komparatif, tanpa kedalaman struktur dan tanpa masukan keilmuan dan teknologi
yang kuat. Tradisi kepelautan kita dinyatakan dengan kemampuan melayari Samudra
Pasifik dengan kapal Pinisi Nusantara dan selamat sampai Vancouver, tapi kapal
yang sama pecah dan tenggelam menabrak karang di Kepulauan Seribu dalam
perjalanan lokal yang sederhana.
Di
zaman Bung Karno Angkatan Laut kita pernah menjadi keempat terbesar di dunia
setelah Amerika Serikat, Uni Soviet dan Iran. Tetapi kekuatan itu tidak riel
dan hanya temporer karena tidak dibangun atas kemampuan sendiri, namun karena
bantuan Uni Soviet dalam kerangka permainan geopolitik.
Selama
itu, berbagai rencana di bidang kelautan dan kemaritiman dibuat dan
dideklarasikan namun kelembagaan kelautan, pembangunan perekonomian maritim dan
pembangunan sumber daya manusia tidak pernah dijadikan arus utama pembangunan
nasional, yang didominasi oleh persepsi dan kepentingan daratan semata. Dewan
Kelautan Nasional memang dibuat tetapi dengan mandat terbatas dan menduduki
hirarki yang tidak signifikan dalam kelembagaan pemerintahan.
Segala
paradoks tadi terus menerus memunculkan gugatan demi gugatan yang makin nyaring
dari masyarakat kelautan kita yang kemudian menciptakan kelembagaan berupa
Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 dan juga Dewan Maritim
Indonesia pada tahun yang sama, dengan ruang lingkup tugas yang lebih luas
dibandingkan dengan Dewan Kelautan Nasional di zaman Orde Baru.
Mudah-mudahan
era presidensi Susilo Bambang Yudhoyono merupakan titik balik menentukan dalam
kehidupan maritim kita. Melalui Inpres 5 tahun 2005 “asas cabotage” dihidupkan
kembali. [“asas cabotage” adalah prinsip hukum yang dianut oleh sebagian besar
negara maritim dunia yang menyatakan bahwa angkutan di dalam suatu negara hanya
dapat diangkut oleh kapal yang berbendera dari negara yang bersangkutan —Red].
Demikian juga otoritas moneter telah menetapkan kapal sebagai benda yang boleh
diagunkan. Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) sedang dalam penyusunan termasuk visi
maritim didalamnya, seiring dengan langkah-langkah konkrit lanjutan menyangkut
industri strategis dan kelembagaan pelabuhan.
Perlu
diterangkan bahwa antara istilah kelautan dan maritim harus dibedakan. Kelautan
merujuk kepada laut sebagai wilayah geopolitik maupun wilayah sumber daya alam,
sedangkan maritim merujuk pada kegiatan ekonomi yang terkait dengan perkapalan,
baik armada niaga maupun militer, serta kegiatan ekonomi yang berhubungan
dengan itu seperti industri maritim dan pelabuhan. Dengan demikian kebijakan
kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim sebagai aspek aplikatifnya.
Terlepas
dari rumusan final visi maritim Indonesia, ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan. Antara lain, pertama, negara perlu mempunyai kebijakan
kelautan yang jelas dan bervisi ke depan karena menyangkut geopolitik bangsa
dan dengan demikian berwawasan global dan menyangkut pula kebijakan-kebijakan
dasar tentang pengelolaan sumber daya alam di samping sumber daya ekonomi pada
umumnya. Demi daya saing bangsa kita perlu berangkat dari keunggulan kompetitif
yang bisa berbasis lokal.
Kedua,
kebijakan kelautan adalah kebijakan negara kepulauan sehingga variabel
keruangan harus lengkap, tidak hanya monodimensional laut. Konsep tri-matra
(darat-laut-udara), karena kemajuan ilmu dan teknologi serta peningkatan
kesadaran lingkungan hidup menjadi tidak lengkap untuk sekarang dan masa depan.
Yang lebih mengena adalah variabel multi-matra (darat termasuk pegunungan;
permukaan air dari mata air di hulu sampai permukaan laut; kolom air di sungai,
danau maupun laut; pesisir; dasar laut; bawah dasar laut; atmosfir; stratosfir
dan angkasa luar), jumlahnya 9 matra. Sejak Presiden Soeharto meluncurkan
satelit Palapa pada dekade 1970-an sebenarnya kita telah masuk ke era ruang
angkasa, tidak sekedar tri-matra, demikian juga sekarang ketika kita mulai
merentang kabel telekomunikasi bawah laut, masuk ke matra dasar laut. Tetapi
tetap saja kita menggunakan tri-matra sebagai acuan keruangan, mungkin karena
terlanjur menjadi manusia penghafal.
Sesuai
kemampuan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik yang lebih
kompleks, serta kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi tentunya
variabel keruangan bisa dikembangkan. Dengan demikian kebijakan kelautan
bukanlah pengganti kebijakan masa lampau yang terkesan kuat dominan
berorientasi daratan.
Ketiga,
hirarki ruang juga perlu ditentukan, yaitu ruang di mana kita berdaulat penuh,
ruang di mana kita punya hak berdaulat, dan ruang di mana kita perlu punya
pengaruh baik eksklusif maupun melalui kerjasama politik, ekonomi dan
pertahanan.
Keempat,
pemerintah perlu menuntaskan seluruh kewajiban yang tercantum dalam UNCLOS,
karena penting artinya bagi effektifitas kedaulatan kita. Adalah ironis bahwa
Indonesia sebagai pelopor konsep negara kepulauan lantas nantinya tertinggal
dalam pengamanan kedaulatan wilayahnya. Sekiranya hal ini terjadi maka posisi
kita secara geopolitik akan lemah, serta memicu berbagai sengketa di wilayah
laut yang sulit kita atasi, apalagi dengan kekuatan militer maritim yang
demikian kecil. Peristiwa Sipadan/Ligitan dan peristiwa Ambalat merupakan
peringatan dini terhadap kemungkinan masalah lebih besar di kemudian hari.
Kelima,
kalau semua hal di atas sudah jelas arahnya, maka visi maritim dapat dibangun
dan kekuatan maritim dapat dibangkitkan sepadan dengan tuntutan geopolitik
bangsa dan sesuai dengan persepsi keruangan kita dan juga persepsi tentang
keunggulan kompetitif baik yang berbasis sumber daya alam, budaya, ilmu
pengetahuan maupun geografi. Kebijakan perkapalan, pelabuhan, transportasi
antar matra, prioritas kegiatan ekonomi, pembangunan angkatan bersenjata
(militer dan polisi), kebijakan fiskal, kebijakan investasi, kebijakan enersi,
kebijakan dirgantara, kebijakan pembangunan daerah dan kawasan serta tatanan kelembagaan
dan kebijakan pembangunan sumber daya manusia merupakan turunan dari visi
maritim dan visi maritim juga adalah turunan dari kebijakan kelautan.
****
SETELAH
semua itu selesai dan dirumuskan secara baik, kita mempunyai soal berikut,
yaitu mewujudkannya dalam implementasi. Banyak hal yang mempengaruhi
implementasi visi dan kebijakan maritim namun akar masalahnya berada dalam
budaya agraris tradisional yang kita warisi.
Masyarakat
agraris tradisional di pedalaman cenderung statis, introvert dan feodal.
Berlainan dengan budaya pesisir yang lebih terbuka dan egaliter serta biasa
memanfatkan pengaruh luar karena interaksi niaga antar bangsa. Komunitas
pesisir menjadi lemah di masa lampau karena tidak adanya persepsi bersama
menghadapi merkantilisme Eropa sehingga kerajaan-kerajaan pesisir hancur
ditaklukkan, menghadapi tekanan dari kolonialisme dan juga serangan dari
pedalaman.
Dengan
demikian budaya yang dominan adalah budaya agraris tradisional, yang antara
lain ditandai sampai sekarang oleh kebiasaan mayoritas anak-anak menggambar
gunung, sawah dan matahari dan nyaris tidak penah menggambar pemandangan pantai
dan laut.
Mentalitas
yang demikian tercermin pada orientasi pendidikan kita, yang cenderung melatih
orang untuk menghafal (statis), dengan ketaatan di luar batas pada guru
(feodal) dan kebiasaan guru untuk tidak terbuka dan tidak murah hati dalam
mentransfer ilmu (introvert). Dengan kultur demikian sulit bagi bangsa kita
untuk berubah maju atas kehendak sendiri. Perubahan selalu terjadi karena pengaruh
eksternal yang tak tertahankan. Seringkali yang ditiru hanyalah tampak luarnya
bukan esensinya.
Visi
dan program maritim hanya bisa sukses secara berkelanjutan jika terdapat basis
kultur yang terbuka, egaliter, haus pengetahuan dan menyukai tantangan
perubahan. Pada jangka pendeknya program maritim bisa berjalan dengan merekrut
kalangan pengambil keputusan dan para pelaku utama dari kalangan yang mempunyai
kultur itu. Bisa juga dengan mengundang investasi asing dari pihak yang lebih
maju dalam hal di mana tidak terdapat kemampuan modal dan pengetahuan dalam
bidang-bidang tertentu.
Tetapi
pada jangka panjangnya yang diperlukan adalah perubahan orientasi pendidikan,
ke arah rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi, kesadaran akan
sumber-sumber keunggulan kompetitif, kepekaaan budaya, kedalaman budi pekerti
dan penanaman sifat menyikapi tantangan perubahan secara positif.
Untuk
menggambarkan betapa kita tidak siap menanggapi perubahan adalah tiadanya
antisipasi terhadap kemungkinan rencana Thailand untuk membuat kanal di
semenanjung Kra, yang pembangunannya bisa selesai kurang dari 10 tahun.
Sekarang Thailand sedang berpikir keras apakah mereka akan melanjutkan rencana
tersebut. Sekiranya mereka membuatnya, adanya kanal tersebut tentu amat
mengurangi volume transportasi laut yang melalui perairan nusantara.
Sepintas
lalu Singapura akan terpukul. Tetapi jangan lupa bahwa Singapura selalu
merencanakan dirinya berada di depan peristiwa. Mereka tidak perlu hanya
mempertahankan keunggulannya sebagai pusat pelayanan perhubungan laut. Mereka
berencana menjadikan Singapura sebagai pusat budaya dan pusat jasa bernilai
tinggi sehingga corak ekonominya akan lebih canggih dan kehidupannya lebih
menarik, bukan seperti Singapura sekarang yang amat tertib, effisien tapi
membosankan.
Menteri
Luar Negeri Singapura di masa lalu, Rajaratnam pernah mengatakan bahwa “Kami di
Singapura harus selalu berusaha maju setengah langkah melebihi negara-negara
tetangga kami’” Para ahli geografi ekonomi dapat memperkirakan ke arah mana
pusat pertumbuhan ekonomi regional Pasifik bergerak sekiranya kanal Kra menjadi
kenyataan, tapi rasanya tidak pernah terdengar apakah kita mempunyai skenario
tertentu.
Pembangunan
kanal Kra belum tentu merugikan Indonesia selama kita membangun kekuatan ekonomi
maritim sejalan dengan dinamika perubahan. Sekiranya kita pintar menjalin
interdependensi ekonomi antar wilayah dan selama kita lebih tergantung satu
sama lain di antara kita, lebih kuat dari ketergantungan eksternal, maka
keutuhan bangsa dan negara akan senantiasa terjamin.
Dengan
kekayaan sumber daya alam yang juga sekaligus unik, sekiranya kita punya
komitmen kuat untuk membangun ekonomi berdaya saing, kita bisa menciptakan
pasaran dalam negeri yang besar dengan jumlah orang yang nantinya melebihi 250
juta, serta masih punya peluang berperan dalam ekonomi global. Masalahnya,
sudahkah kita berpikir dan bergerak ke sana?
****
Berbeda dengan TNI AL yang puncak kebesarannya di
tahun 1960-an didongkrak oleh bantuan Uni Soviet dalam rangka geopolitik,
kekuatan militer India sepenuhnya lahir dari kemampuan industri srategiknya
yang sudah lama dibangun sejak awal kemerdekaannya.
AL
India dibesarkan supaya “Kekuatan angkatan laut kami sepadan dengan
kemajuan-kemajuan pesat India di bidang ekonomi”, demikian kira-kira bunyi
pernyataan Panglima Armada Timur India. Bisa diduga bahwa India melalui AL-nya
bermaksud menjadikan Lautan Hindia sebagai wilayah pengaruhnya, mungkin tidak
sendirian, tetapi bersama-sama dengan Amerika Serikat. Indikasi ini terlihat
dari sikap lunak Amerika Serikat terhadap pengembangan teknologi nuklir India.
Dari
contoh India kita mendapat penegasan akan keharusan memperkuat bukan saja
armada niaga sesuai “asas cabotage”, tetapi juga memperkuat TNI AL karena di
samping menyandang fungsi pertahanan, di manapun juga angkatan laut mempunyai
fungsi memproyeksikan kehadiran negara dan fungsi diplomasi, terlebih lagi
karena status kita sebagai negara kepulauan mengharuskan kehadiran negara di
wilayah perbatasan laut yang begitu luas.
Indonesia
berada ditengah kehadiran negara-negara besar seperti Amerika Serikat,
Australia, India dan Cina yang walaupun bukan negara kepulauan, namun sudah
punya visi dan kebijakan maritim, serta negara kecil seperti Singapura yang
akan meraup keuntungan ekonomi dari perkembangan itu, dan Thailand yang juga
melakukan hal yang sama.
Jadi
apa yang menjadi masalah bagi visi maritim Indonesia? Masalahnya adalah bahwa
kita harus menuntaskan jati diri bangsa sebagai penghuni negara kepulauan, dan
perlu mempunyai visi dan strategi yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari
paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim yang rasional dan
berwawasan global. Bukan karena ingin menjadi negara superpower tetapi demi
kesejahteraan rakyat dan harga diri serta keamanan bangsa.
Bukan
beralih ke laut karena sudah terlalu banyak problem di darat seperti pengurasan
sumber daya alam dan involusi pertanian, namun karena ingin mengintegrasikan
sumber daya terestial dengan sumber daya perairan untuk mencapai nilai ekonomi
tertinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar