Candi
Borobudur merupakan monumen Buddha termegah dan kompleks stupa terbesar di
dunia yang diakui oleh UNESCO. Bangunan Candi Borobudur secara keseluruhan
menjadi galeri akan mahakarya para pemahat batu.
CANDI BOROBUDUR
Mahakarya
Arsitektur Abad ke-9
Jauh
sebelum Angkor Wat berdiri di Kamboja dan katedral-katedral agung ada di Eropa,
Candi Borobudur telah berdiri dengan gagah di tanah Jawa. Bangunan yang disebut
UNESCO sebagai monumen dan kompleks stupa termegah serta terbesar di dunia ini
ramai dikunjungi oleh peziarah pada pertengahan abad ke-9 hingga awal abad
ke-11. Umat Buddha yang ingin mendapatkan pencerahan berduyun-duyun datang dari
India, Kamboja, Tibet, dan China. Tidak hanya megah dan besar, dinding Candi
Borobudur dipenuhi pahatan 2672 panel relief yang jika disusun berjajar akan
mencapai panjang 6 km! Hal ini dipuji sebagai ansambel relief Buddha terbesar
dan terlengkap di dunia, tak tertandingi dalam nilai seni.
Relief
yang terpahat di dinding candi terbagi menjadi 4 kisah utama yakni
Karmawibangga, Lalita Wistara, Jataka dan Awadana, serta Gandawyuda. Selain
mengisahkan tentang perjalanan hidup Sang Buddha dan ajaran-ajarannya, relief
tersebut juga merekam kemajuan masyarakat Jawa pada masa itu. Bukti bahwa nenek
moyang Bangsa Indonesia adalah pelaut yang ulung dan tangguh dapat dilihat pada
10 relief kapal yang ada. Salah satu relief kapal dijadikan model dalam membuat
replika kapal yang digunakan untuk mengarungi The Cinnamon Route dari Jawa
hingga benua Afrika. Saat ini replika kapal yang disebut sebagai Kapal
Borobudur itu disimpan di Museum Kapal Samudraraksa.
Untuk
mengikuti alur jalinan kisah yang terpahat pada dinding candi, pengunjung harus
berjalan mengitari candi searah jarum jam atau yang dikenal dengan istilah
pradaksina. Masuk melalui pintu timur, berjalan searah jarum jam agar posisi
candi selalu ada di sebelah kanan, hingga tiba di tangga timur dan melangkahkan
kaki naik ke tingkat berikutnya. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga semua
tingkat terlewati dan berada di puncak candi yang berbentuk stupa induk.
Sesampainya di puncak, layangkanlah pandangan ke segala arah maka akan terlihat
deretan Perbukitan Menoreh, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi, dan
Gunung Merbabu yang berdiri tegak mengitari candi. Gunung dan perbukitan
tersebut seolah-olah menjadi penjaga yang membentengi keberadaan Candi
Borobudur.
Berdasarkan
prasasti Kayumwungan yang bertanggal 26 Mei 824, Candi Borobudur dibangun oleh
Raja Samaratungga antara abad ke-8 hingga abad ke-9, berbarengan dengan Candi
Mendut dan Candi Pawon. Proses pembangunan berlangsung selama 75 tahun di bawah
kepemimpinan arsitek Gunadarma. Meski belum mengenal komputer dan peralatan
canggih lainnya, Gunadarma mampu menerapkan sistem interlock dalam pembangunan
candi. Sebanyak 60.000 meter kubik batu andesit yang berjumlah 2.000.000 balok
batu yang diusung dari Sungai Elo dan Progo dipahat dan dirangkai menjadi
puzzle raksasa yang menutupi sebuah bukit kecil hingga terbentuk Candi
Borobudur.
Borobudur
tidak hanya memiliki nilai seni yang teramat tinggi, karya agung yang menjadi
bukti peradaban manusia pada masa lalu ini juga sarat dengan nilai filosofis.
Mengusung konsep mandala yang melambangkan kosmologi alam semesta dalam ajaran
Buddha, bangunan megah ini dibagi menjadi tiga tingkatan, yakni dunia hasrat
atau nafsu (Kamadhatu), dunia bentuk (Rupadhatu), dan dunia tanpa bentuk
(Arupadhatu). Jika dilihat dari ketinggian, Candi Borobudur laksana ceplok
teratai di atas bukit. Dinding-dinding candi yang berada di tingkatan Kamadatu
dan Rupadatu sebagai kelopak bunga, sedangkan deretan stupa yang melingkar di
tingkat Arupadatu menjadi benang sarinya. Stupa Induk melambangkan Sang Buddha,
sehingga secara utuh Borobudur menggambarkan Buddha yang sedang duduk di atas
kelopak bunga teratai.
Menikmati
kemegahan Candi Borobudur tidak hanya cukup dengan berjalan menyusuri lorong
dan naik ke tingkat teratas candi. Satu hal yang jangan dilewatkan adalah
menyaksikan Borobudur Sunrise dan Borobudur Sunset dari atas candi. Siraman
cahaya mentari pagi yang menerpa stupa dan arca Buddha membuat keagungan dan
kemegahan candi lebih terasa. Sedangkan berdiri di puncak candi di kala senja
bersama deretan stupa dan menyaksikan sinar matahari yang perlahan mulai lindap
akan menciptakan perasaan tenang dan damai.
Sumber : yogyes.com
Sumber : yogyes.com