SALAH satu sosok
figur yang terkenal dalam Walisongo di pulau Jawa adalah Sunan Kalijaga.
Ketenaran Sunan Kalijaga ini dikarenakan beliau seorang ulama yang cerdas dan
arif. Kecerdasan dan kearifan yang dimiliki membuat beliau mampu bersenyawa
cepat dengan berbagai kalangan, khususnya masyarakat bawah, yang berdampak
terhadap kelancaran proses penyebaran ajaran Agama Islam. Metode dakwah
akomodatif berbasis kultur Sunan Kalijaga merupakan determinasi penyebaran
agama Islam berlangsung efektif dan sukses, walaupun secara praktek dilakukan
proses singkretisme pada aspek simbolnya, tetapi esensi ajarannya masih
tetap ajaran Islam.
Proses inilah yang meluluhkan hati masyarakat untuk berpindah
dari penganut Hindu menjadi pemeluk Islam. Metode ini lebih menghargai
nilai-nilai luhur lokal masyarakat Jawa. Karenanya tidak heran jika penyebaran
Islam yang dilakukan Sunan Kalijaga lebih diterima oleh masyarakat Jawa kuno
dengan cara yang akomodatif, damai dan dengan kecerdasan pikiran serta perilaku
yang arif dan wicaksana.
Sosok Sunan Kalijaga
Sunan Klijaga memiliki nama asli Raden Said, lahir pada tahun
1430-an M. Beliau merupakan putra Adipati Tuban Jawa Timur, Wilatikta atau Aria
Teja IV. Sedangkan Aria Teja I sampai Aria Teja IV adalah keturunan dari Aria
Adikara atau Patih Ranggalawe, salah satu Patih yang juga ikut mendirikan
kerajaan Majapahit pada masa Raja Raden Wijaya.
Raden Said muda dikenal sebagai sosok yang gigih melakukan
pembelaan terhadap rakyat miskin. Beliau berani menyuarakan kebenaran yang
diyakininya. Pernah suatu ketika Raden Said tidak setuju dan membangkang
terhadap kebijakan Ayahnya sebagai Adipati dimana puncak pembangkangannya
dengan membongkar lumbung kadipaten. Padi-padi yang beliau dapat dibagi-bagikan
kepada rakyat miskin Tuban yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau
panjang.
Karena tindakannya itu, ayahnya mengadili Raden Said dan
mengusirnya dari istana kadipaten. Raden Said baru diperbolehkan pulang jika
sudah dapat menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Maksudnya bila beliau sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas
masyarakat karena ilmunya, saat itulah beliau boleh pulang.
Raden Said kemudian menjadi perampok terkenal dan ditakuti di
kawasan Jawa Timur dan sekitarnya. Raden Said hanya merampok orang-orang kaya
raya yang tak pernah mau berzakat dan bersedekah. Hasil rampokannya tersebut
kemudian dibagi-bagikan kepada orang miskin. Atas tindakannya itulah, Raden
Said mendapat gelar ‘Lokajaya’ atau ‘Perampok Budiman’.
Semuanya berubah ketika Raden Said bertemu Syeikh Maulana
Malik Ibrahim atau dikenal dengan sebutan Sunan Bonang yang menasihatinya bahwa
perbuatan baik tidak dapat diawali dengan perbuatan buruk. Sesuatu yang benar (haq)
tidak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang zhalim (bathil).
Akhirnya, Raden Said bertobat dan berhenti merampok.
Raden Said diperintahkan melakukan penyucian diri dengan
bertapa di pinggir kali dengan syarat tidak boleh berhenti sampai Sunan Bonang
selesai dan kembali dari perjalanannya. Dari sinilah nama Kalijaga diambil.
Setelah Sunan Kalijaga menuntaskan pelajaran dan wejangan dari Sunan Bonang,
akhirnya Raden Said diterima menjadi anggota Walisongo. Beliau kemudian menikah
dengan Dewi Sarah, anak dari Kanjeng Sunan Ampeldenta.
Filosofi Kehidupan
Terdapat beberapa hal filosofi kehidupan Sunan Kalijaga yang
perlu menjadi renungan kita bersama. Jika pesan-pesan falsafah hidup Sunan
Kalijaga ini kita pegang dan praktekkan dalam kehidupan sehari-hari, Insya
Allah, kita akan dapat selamat di dunia dan akhirat.
Isi filosofi kehidupan Sunan Kalijaga adalah: ”Lamun sira
menek, aja menek andha, awit lamun sira menek andha –sira ancik-ancik untu lan
tekan ndhuwur, sira ketemu alam suwung. Nanging lamun sira menek, meneka wit
galinggang, sira bakal ngliwati tataran, lan ngrangkul (ngrungkepi) wit
galinggang. Tekan ndhuwur sira – ketemu apa? Sira bakal ketemu woh, ya wohing
galinggang.
Wohing galinggang wiwit saka ing jeroning mancung, ya kuwi
manggar, sakwise kuwi dadi bluluk, terus cengkir, deghan, njur kerambil/kelapa.
Perangan njaba, sira ketemu apa? Sira ketemu tepes, sing watake enteng.
Perangan njero maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu batok (tempurung) sing
watake atos (teguh dalam prinsip). Perangan njero maneh, sira ketemu apa? Sira
bakal ketemu jatine wohing galinggang. Perangan njero maneh, sira ketemu apa?
Sira bakal ketemu banyu ya banyu perwito sari. Ing sak jerone banyu, sira
ketemu apa? Sira bakal ketemu rasa, ya jatining rasa (rasa rumangsa). Lamun
sira menek maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu janur sing tegese jatining
nur, ya nur muhammad
Makna untuk Kehidupan
Adapun yang dimaksud dengan Wit Galingga adalah
Pohon Kelapa. Kenapa pohon kelapa yang dijadikan contoh? Karena Pohon Kelapa
itu mulai dari akarnya yang paling bawah sampai ujung daunnya yang disebut
janur semuanya bermanfaat. Pohon Kelapa juga sangat kokoh dan kuat tidak pernah
roboh.
Kalau kita memanjat Pohon Kelapa maka kita akan medapatkan
buahnya. Kita akan bertanggung jawab, tidak sombong, tidak mudah jatuh, kita
ikuti tataran yang ada dalam batang kelapa itu, kita akan selalu terus ke atas,
kita akan memanjat dengan hati-hati sampai ke atas.
Lantas apa itu Tataran yang dimaksud dalam falsafah
hidup Sunan Kalijaga di atas? Tataran itu dapat dimaknai sebagai aturan-aturan
yang berlaku. Kalau kita ingin selamat di dunia, maka kita harus mengikuti
aturan-aturan atau peraturan- peraturan dunia yang berlaku. Kalau kita ingin
selamat di akhirat, maka kita harus mengikuti aturan-aturan atau
peraturan-peraturan akhirat yang berlaku. Kalau kita ingin selamat di dunia dan
akhirat, kita harus mengikuti aturan-aturan atau peraturan-peraturan yang
berlaku di dunia dan akherat.
Buah kelapa menggambarkan secara kronologis kehidupan
manusia dari mulai manggar diibaratkan janin, bluluk
bermakna bayi, cengkir bermakna balita, deghan
bermakna remaja, dan kerambil/kelapa bermakna dewasa.
Falsafah ini memberi pencerahan makna hidup manusia yang harus dijalankan
secara hati-hati, dari mulai janin sampai dewasa. Karena pada setiap tahapan
tersebut bisa saja terjadi musibah dari yang kecil sampai meninggal
dunia. Untuk itu kehati-hatian ini harus dijabarkan dalam mempersiapkan
diri pada hidup dan kehidupan di dunia. Yaitu selalu berpegang
teguh pada aturan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara agar selamat di
dunia. Sejalan dengan itu juga berpegang teguh pada aturan keagamaan
berdasarkan Al Qur’an dan hadist agar selamat di akhirat nanti. Kalau
pegangan tersebut dilaksanakan secara konstisten dan konsekuen maka manusia
tidak perlu gentar menghadapi takdir kematian kapan saja karena sudah siap
untuk hidup dunia akhirat.
Dalam memanjat pohon kelapa, kita musti bekerja keras,
hati-hati dan disiplin menelusuri tataran pohon kelapa untuk mencapai puncak
hingga dapat menggapai buah pohon kelapa yang dapat diambil kemanfaatannya. Hal
itu dapat kita petik hikmah bahwa dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, kita harus memiliki niat yang baik, bekerja keras,
mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku – baik peraturan-peraturan dunia
maupun akherat – dan hati-hati untuk mewujudkan kesejahteraan, ketentraman,
kedamaian, dan kemamkmuran kita, masyarakat dan bangsa.
Oleh karena itu, implementasi filosofi kehidupan Sunan
Kalijaga sangat bermakna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara menuju tercapainya kesejahteraan, ketentraman, kedamaian, dan
kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia. Intisarinya adalah, kita sebagai bangsa
harus memiliki niat yang baik, bekerja keras, mematuhi peraturan-peraturan yang
berlaku – baik peraturan dunia maupun akherat – dan hati-hati (tidak ceroboh)
dalam menjalankan kehidupan demi tercapainya esensi rahmatan lil ’alamiin,
tujuan berbangsa dan bernegara, di bumi nusantara tercinta dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh : Letjen TNI (Purn) H. Sudi Silalahi
Menteri Sekretaris Kabinet RI