MAKNA HARI DHARMA SAMUDRA
Masih banyak dari kita yang belum tahu peristiwa
yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1962, yang sampai saat ini diperingati
sebagai “HARI DHARMA SAMUDRA”.
Pertempuran yang terjadi saat itu di laut Aru merupakan salah satu dari sekian
banyak pertempuran yang terjadi pasca Proklamasi Kemerdekaan, yang menjadi
bukti nyata bahwa perjuangan belum berakhir walaupun kemerdekaan telah di
proklamirkan. Perjuangan tetap ada dalam mempertahankan serta mengisi
kemerdekaan.
Mari kita simak sejarahnya, pada hari Senin tanggal 15 Januari 1962
terjadinya sejarah peristiwa heroik di Laut Aru. Saat itu, telah terjadi
pertempuran di laut antara 3 kapal perang TNl AL (saat itu masih bernama ALRI
atau Angkatan Laut Republik Indonesia) dengan 3 kapal perang AL Kerajaan
Belanda.
Pada peristiwa tersebut salah satu kapal perang ALRI yaitu Rl Matjan Tutul
tenggelam dan mengakibatkan gugurnya Deputy I KSAL Komodor Josaphat Soedarso
beserta sekitar 25 anak buah kapal (ABK) Rl Matjan Tutul. Peristiwa ini
selanjutnya dikenang sebagai “Pertempuran Laut Aru”.
Pertempuran Laut Aru 15 Januari 1962
Peristiwa “Pertempuran Laut Aru” yang terjadi 45 tahun silam merupakan
dampak dan konfrontasi Indonesia – Belanda akibat sengketa Irian Barat atau
yang kini kita kenal sebagai Propinsi Irian Jaya. Hal tersebut bermula dari
keingkaran Pemerintah Kerajaan Belanda untuk mengembalikan Irian Barat ke
pangkuan NKRI, meskipun telah disepakati dalam Perjanjian Roem-Roijen 1949.
Sehingga akhirnya Indonesia kemudian mengumandangkan Tri Komando Rakjat atau
disingkat Trikora yang intinya menuntut pengembalian Irian Barat melalui
berbagai cara, termasuk dengan cara pengerahan kekuatan militer.
Ini berarti perseteruan Indonesia-Belanda memasuki tahapan baru yaitu dari
fase diplomasi menjadi konfrontasi di segala bidang. Guna melengkapi dan
memodernisasi kekuatan militernya, Indonesia “memborong” sejumlah besar
peralatan tempur dari berbagai negara, antara lain Uni Soviet, Republik
Fedarasi Jerman (Jerman Barat), Italia dan Yugoslavia. Salah satu jenis
peralatan militer yang didatangkan untuk memperkuat Jajaran Armada ALRI adalah
kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo Boat) Klas Jaguar dari Jerman Barat.
Kapal perang jenis ini memiliki kemampuan untuk menembakkan torpedo anti kapal
permukaan.
Guna melaksanakan operasi infiltrasi (penyusupan) yang bertujuan memasukkan
sejumlah pasukan gerilya ke Bumi Cenderawasih tersebut, ALRI mengerahkan 4
kapal perang jenis MTB, yaitu Rl Matjan Tutul, RI Matjan Kumbang, Rl Harimau
dan Rl Singa. Karena dipersiapkan untuk mengangkut pasukan, maka persenjataan
utama andalan kapal perang jenis MTB ini yaitu torpedo, terpaksa “dikorbankan”
alias dilucuti agar kapal memiliki ruang yang lebih besar. Hal ini berakibat
fatal ketika mereka terpaksa harus berhadapan dengan kapal perang musuh.
Dari keempat MTB tersebut, ternyata hanya 3 yang mampu bergerak hingga
memasuki perairan Irian Barat, karena RI Singa mengalami kerusakan mesin. Namun
di perjalanan tepatnya di posisi 4,49 derajat selatan dan 135,2 derajat timur
ketiga MTB ALRI tersebut dihadang 3 kapal perang AL. Kerajaan Belanda, yaitu
Destroyer Klas Province Hr.Ms. Utrecht, Fregat Hr. Ms. Evertsen dan Korvet
Hr.Ms. Kortenaer.
Sebelum dua pihak yang bermusuhan tersebut berpapasan, 2 pesawat intai
maritim AL Belanda jenis Neptune dan Firefly telah lebih dahulu memergoki MTB
ALRI dan selanjutnya mengirimkan berita ke kapal meraka. Akibatnya, terjadilah
kontak senjata di tengah laut di Laut Aru. Menyadari bahwa kekuatan tidak seimbang,
ketiga MTB ALRI bermaksud menghindar, namun ketiga musuhnya tidak membiarkan
mereka lolos begitu saja. Guna melindungi dua kapal lainnya, Rl Matjan Tutul
melakukan manuver bergerak maju secara lurus langsung menuju Hr.Ms Evertsen.
Manuver ini dipandang berbahaya, karena merupakan pertanda bahwa kapal
berpeluncur terpedo akan meluncurkan terpedonya. Akibatnya, KRI Matjan Tutul
dihujani tembakan gencar hingga akhirnya tenggelam. Sebagian awak RI Matjan
Tutul gugur dan sebagian lagi ditawan oleh Belanda. Sementara itu, dua MTB ALRI
lainnya berhasil melolos-kan diri dan tiba di pangkalannya dengan selamat.
Makna Hari Darma Samudera
Meskipun tanggal 15 Januari merupakan hari terjadinya Peristiwa Pertempuran
Laut Aru, namun sesungguhnya tanggal tersebut juga mewakili sejumlah
pertempuran laut lainnya yang pernah dilakukan oleh para pahlawan TNI AL. Jauh
sebelum terjadinya Peristiwa Aru, beberapa pertempuran laut yang pernah terjadi
antara lain Pertempuran Laut Cirebon (1947) dan Pertempuran Teluk Sibolga (1947).
Bahkan jika menarik jauh kebelakang, yaitu sejak jaman sebelum kemerdekaan
Indonesia, juga pernah terjadi sejumlah pertempuran laut, seperti Pertempuran
Laut Malaka (1511) antara armada Pati Unus dengan Portugis, Pertempuran Laut
Sunda Kelapa (1512) antara armada Fata-hillah dengan Portugis dan banyak lagi.
demikian dapat dikatakan bahwa tanggal 15 Januari merupakan “jiwa
atau semangat” pengorbanan dari seluruh pejuang bahari yang telah berjuang
mempertahankan kedaulatan negeri ini dari masa ke masa. Inilah makna sejati
dari Hari Darma Samudera. Memang di era millenium yang serba modern dan canggih
ini, kiranya sulit terjadi sebuah pertempuran laut sebagaimana pernah dialami
di masa silam. Saat ini, dua kekuatan angkatan laut mustahil saat bertempur
akan berada pada posisi saling berhadap-hadapan. Bahkan mungkin dua kekuatan
saling menghancurkan dan jarak yang sangat jauh, karena menggunakan teknologi
radar dan satelit.
Ada banyak hikmah yang dapat dipetik dari berbagai pertempuran laut
yang pernah terjadi di Indonesia. Hikmah tersebut tidak semata mengenai
pertempuran laut dan semangat rela berkorban dari para pelaku sejarah,
melainkan lebih dari itu yaitu menyangkut eksistensi dan kedaulatan sebuah
negara. Tidak dapat dipungkiri, bahwa sebuah pertempuran atau insiden
bersenjata dapat terjadi karena salah satu pihak melakukan pelanggaran wilayah
secara ilegal atau paksa. Se-bagai contoh, bagaimana AL Korea Selatan
menenggelamkan beberepa kapal selam mini dan kapal permukaan milik Korea Utara
yang diduga melakukan kegiatan infiltrasi atau spionase disekitar perairan
teritorial dari pantai Korea Sela-tan.
Atau bagaimana insiden senjata antara kapal patroli AL Republik Rakyat Cina
dengan kapal patroli AL Filipina terjadi, di perairan Kepulauan Spratley yang
diklaim sebagai wilayah masing-masing pihak. Di Indonesia sendiri, walaupun
insiden senjata atau penembakan tidak terjadi, namun ketegangan sampai terjadi
ketika sejumlah kapal perang dari
pesawat militer AL Kerajaan Malaysia melakukan aksi pelanggaran wilayah di
perairan Ambalat, Laut Sulawesi. Saat itu sejumlah kapal perang dan satuan
udara TNI AL disertai pemusatan pasukan segera digelar di perairan kaya minyak
tersebut.
Tindakan tegas TNI AL ini dilandasi bahwa apa yang terjadi di Ambalat, dan mungkin
juga di daerah-daerah lain, sudah menyangkut masalah bagaimana mempertahankan
kedaulatan dan keutuhan NKRI. Bahkan untuk “membuktikan” kepada Malaysia akan
keseriusan Indonesia dalam mempertahankan Ambalat, Presiden Rl Susilo Bambang
Yudhoyono pun hadir langsung di kawasan yang hingga masih menjadi sengketa.
Selain itu, sejumlah kapal perang TNI AL juga secara aktif mengusir dan
mencegat setiap kapal Malaysia yang nekad mendekat. Sepintas tindakan tersebut
memang terbukti efektif, karena kemudian Malaysia menarik mundur kapal dan
pesawatnya, serta bersedia hadir di meja perundingan. Namun di balik semua itu,
ada permasalahan yang akan selalu berpotensi terjadi aksi pencaplokan sebagian
wilayah NKRI oleh negara-negara tetangga, yaitu masalah batas laut. Indonesia
terkesan tidak serius dengan untuk menyelesaikan persoalan batas laut dengan
negara tetangga.
Bahkan lebih lanjut, Sobar Sutisna, Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakor-surtanal), menambahkan bahwa
hal tersebut juga tidak ada suatu pressure dari pihak terkait di Indonesia
(Kompas,13 Maret 2007, hal. 6).
Ironisnya, permasalahan semacam ini tidak hanya terjadi di perairan Ambalat,
namun juga di wilayah-wilayah perbatasan lainnya, seperti Selat Malaka, Selat
Singapura, perairan Kepulauan Natuna dan banyak lagi.
Sejumlah “pekerjaan rumah (PR)” menyangkut batas laut teritorial NKRI telah
menanti pemerintah Indonesia dan juga TNI AL selaku kekuatan pertahanan negara
di laut. Hal ini masih ditambah dengan
belum diakuinya secara internasional wilayah terluar perairan Indonesia yang
disebut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Jika, permasalahan batas laut
teritorial yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia, masih tetap tidak dipandang sebagai persoalan serius, maka
janganlah heran jika kelak ada lagi kasus semacam sengketa Ambalat atau
aneksasi.
Bagi TNI AL, barangkali apa yang pernah diperjuangkan oleh para pejuang
bahari di masa lalu dalam mempertahankan kedaulatan negerinya, dapat menjadi
cerminan untuk lebih meningkatkan kemampuan dan kekuatan unsur-unsurnya agar
dapat mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Selain itu, TNI AL
juga diharapkan dapat menjadi semacam kekuatan pressure bagi pemerintah untuk
lebih tegas dalam menyelesaikan permasalahan batas laut teritorial, agar tidak
ada lagi wilayah NKRI yang”hilang” atau “dijarah” oleh negara lain.
JALESVEVA JAYAMAHE
JUSTRU DI LAUT KITA JAYA