DAMAILAH NEGERIKU........ SEJAHTERALAH BANGSAKU........ JAYALAH INDONESIAKU

Sabtu, 12 Januari 2013

Makna Hari Dharma Samudra



MAKNA HARI DHARMA SAMUDRA


     Masih banyak dari kita yang belum tahu peristiwa yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1962, yang sampai saat ini diperingati sebagai  “HARI DHARMA SAMUDRA”. Pertempuran yang terjadi saat itu di laut Aru merupakan salah satu dari sekian banyak pertempuran yang terjadi pasca Proklamasi Kemerdekaan, yang menjadi bukti nyata bahwa perjuangan belum berakhir walaupun kemerdekaan telah di proklamirkan. Perjuangan tetap ada dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.

     Mari kita simak sejarahnya, pada hari Senin tanggal 15 Januari 1962 terjadinya sejarah peristiwa heroik di Laut Aru. Saat itu, telah terjadi pertempuran di laut antara 3 kapal perang TNl AL (saat itu masih bernama ALRI atau Angkatan Laut Republik Indonesia) dengan 3 kapal perang AL Kerajaan Belanda.
Pada peristiwa tersebut salah satu kapal perang ALRI yaitu Rl Matjan Tutul tenggelam dan mengakibatkan gugurnya Deputy I KSAL Komodor Josaphat Soedarso beserta sekitar 25 anak buah kapal (ABK) Rl Matjan Tutul. Peristiwa ini selanjutnya dikenang sebagai “Pertempuran Laut Aru”.

Pertempuran Laut Aru 15 Januari 1962
     Peristiwa “Pertempuran Laut Aru” yang terjadi 45 tahun silam merupakan dampak dan konfrontasi Indonesia – Belanda akibat sengketa Irian Barat atau yang kini kita kenal sebagai Propinsi Irian Jaya. Hal tersebut bermula dari keingkaran Pemerintah Kerajaan Belanda untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI, meskipun telah disepakati dalam Perjanjian Roem-Roijen 1949. Sehingga akhirnya Indonesia kemudian mengumandangkan Tri Komando Rakjat atau disingkat Trikora yang intinya menuntut pengembalian Irian Barat melalui berbagai cara, termasuk dengan cara pengerahan kekuatan militer.
Ini berarti perseteruan Indonesia-Belanda memasuki tahapan baru yaitu dari fase diplomasi menjadi konfrontasi di segala bidang. Guna melengkapi dan memodernisasi kekuatan militernya, Indonesia “memborong” sejumlah besar peralatan tempur dari berbagai negara, antara lain Uni Soviet, Republik Fedarasi Jerman (Jerman Barat), Italia dan Yugoslavia. Salah satu jenis peralatan militer yang didatangkan untuk memperkuat Jajaran Armada ALRI adalah kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo Boat) Klas Jaguar dari Jerman Barat. Kapal perang jenis ini memiliki kemampuan untuk menembakkan torpedo anti kapal permukaan.

     Guna melaksanakan operasi infiltrasi (penyusupan) yang bertujuan memasukkan sejumlah pasukan gerilya ke Bumi Cenderawasih tersebut, ALRI mengerahkan 4 kapal perang jenis MTB, yaitu Rl Matjan Tutul, RI Matjan Kumbang, Rl Harimau dan Rl Singa. Karena dipersiapkan untuk mengangkut pasukan, maka persenjataan utama andalan kapal perang jenis MTB ini yaitu torpedo, terpaksa “dikorbankan” alias dilucuti agar kapal memiliki ruang yang lebih besar. Hal ini berakibat fatal ketika mereka terpaksa harus berhadapan dengan kapal perang musuh.

     Dari keempat MTB tersebut, ternyata hanya 3 yang mampu bergerak hingga memasuki perairan Irian Barat, karena RI Singa mengalami kerusakan mesin. Namun di perjalanan tepatnya di posisi 4,49 derajat selatan dan 135,2 derajat timur ketiga MTB ALRI tersebut dihadang 3 kapal perang AL. Kerajaan Belanda, yaitu Destroyer Klas Province Hr.Ms. Utrecht, Fregat Hr. Ms. Evertsen dan Korvet Hr.Ms. Kortenaer.

     Sebelum dua pihak yang bermusuhan tersebut berpapasan, 2 pesawat intai maritim AL Belanda jenis Neptune dan Firefly telah lebih dahulu memergoki MTB ALRI dan selanjutnya mengirimkan berita ke kapal meraka. Akibatnya, terjadilah kontak senjata di tengah laut di Laut Aru. Menyadari bahwa kekuatan tidak seimbang, ketiga MTB ALRI bermaksud menghindar, namun ketiga musuhnya tidak membiarkan mereka lolos begitu saja. Guna melindungi dua kapal lainnya, Rl Matjan Tutul melakukan manuver bergerak maju secara lurus langsung menuju Hr.Ms Evertsen.

     Manuver ini dipandang berbahaya, karena merupakan pertanda bahwa kapal berpeluncur terpedo akan meluncurkan terpedonya. Akibatnya, KRI Matjan Tutul dihujani tembakan gencar hingga akhirnya tenggelam. Sebagian awak RI Matjan Tutul gugur dan sebagian lagi ditawan oleh Belanda. Sementara itu, dua MTB ALRI lainnya berhasil melolos-kan diri dan tiba di pangkalannya dengan selamat.

Makna Hari Darma Samudera
     Meskipun tanggal 15 Januari merupakan hari terjadinya Peristiwa Pertempuran Laut Aru, namun sesungguhnya tanggal tersebut juga mewakili sejumlah pertempuran laut lainnya yang pernah dilakukan oleh para pahlawan TNI AL. Jauh sebelum terjadinya Peristiwa Aru, beberapa pertempuran laut yang pernah terjadi antara lain Pertempuran Laut Cirebon (1947) dan Pertempuran Teluk Sibolga (1947).
Bahkan jika menarik jauh kebelakang, yaitu sejak jaman sebelum kemerdekaan Indonesia, juga pernah terjadi sejumlah pertempuran laut, seperti Pertempuran Laut Malaka (1511) antara armada Pati Unus dengan Portugis, Pertempuran Laut Sunda Kelapa (1512) antara armada Fata-hillah dengan Portugis dan banyak lagi.

     demikian dapat dikatakan bahwa tanggal 15 Januari merupakan “jiwa atau semangat” pengorbanan dari seluruh pejuang bahari yang telah berjuang mempertahankan kedaulatan negeri ini dari masa ke masa. Inilah makna sejati dari Hari Darma Samudera. Memang di era millenium yang serba modern dan canggih ini, kiranya sulit terjadi sebuah pertempuran laut sebagaimana pernah dialami di masa silam. Saat ini, dua kekuatan angkatan laut mustahil saat bertempur akan berada pada posisi saling berhadap-hadapan. Bahkan mungkin dua kekuatan saling menghancurkan dan jarak yang sangat jauh, karena menggunakan teknologi radar dan satelit.

     Ada banyak hikmah yang dapat dipetik dari berbagai pertempuran laut yang pernah terjadi di Indonesia. Hikmah tersebut tidak semata mengenai pertempuran laut dan semangat rela berkorban dari para pelaku sejarah, melainkan lebih dari itu yaitu menyangkut eksistensi dan kedaulatan sebuah negara. Tidak dapat dipungkiri, bahwa sebuah pertempuran atau insiden bersenjata dapat terjadi karena salah satu pihak melakukan pelanggaran wilayah secara ilegal atau paksa. Se-bagai contoh, bagaimana AL Korea Selatan menenggelamkan beberepa kapal selam mini dan kapal permukaan milik Korea Utara yang diduga melakukan kegiatan infiltrasi atau spionase disekitar perairan teritorial dari pantai Korea Sela-tan.
Atau bagaimana insiden senjata antara kapal patroli AL Republik Rakyat Cina dengan kapal patroli AL Filipina terjadi, di perairan Kepulauan Spratley yang diklaim sebagai wilayah masing-masing pihak. Di Indonesia sendiri, walaupun insiden senjata atau penembakan tidak terjadi, namun ketegangan sampai terjadi ketika sejumlah kapal perang dari pesawat militer AL Kerajaan Malaysia melakukan aksi pelanggaran wilayah di perairan Ambalat, Laut Sulawesi. Saat itu sejumlah kapal perang dan satuan udara TNI AL disertai pemusatan pasukan segera digelar di perairan kaya minyak tersebut.

     Tindakan tegas TNI AL ini dilandasi bahwa apa yang terjadi di Ambalat, dan mungkin juga di daerah-daerah lain, sudah menyangkut masalah bagaimana mempertahankan kedaulatan dan keutuhan NKRI. Bahkan untuk “membuktikan” kepada Malaysia akan keseriusan Indonesia dalam mempertahankan Ambalat, Presiden Rl Susilo Bambang Yudhoyono pun hadir langsung di kawasan yang hingga masih menjadi sengketa.

     Selain itu, sejumlah kapal perang TNI AL juga secara aktif mengusir dan mencegat setiap kapal Malaysia yang nekad mendekat. Sepintas tindakan tersebut memang terbukti efektif, karena kemudian Malaysia menarik mundur kapal dan pesawatnya, serta bersedia hadir di meja perundingan. Namun di balik semua itu, ada permasalahan yang akan selalu berpotensi terjadi aksi pencaplokan sebagian wilayah NKRI oleh negara-negara tetangga, yaitu masalah batas laut. Indonesia terkesan tidak serius dengan untuk menyelesaikan persoalan batas laut dengan negara tetangga.

     Bahkan lebih lanjut, Sobar Sutisna, Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakor-surtanal), menambahkan bahwa hal tersebut juga tidak ada suatu pressure dari pihak terkait di Indonesia (Kompas,13 Maret 2007, hal. 6).

     Ironisnya, permasalahan semacam ini tidak hanya terjadi di perairan Ambalat, namun juga di wilayah-wilayah perbatasan lainnya, seperti Selat Malaka, Selat Singapura, perairan Kepulauan Natuna dan banyak lagi.

     Sejumlah “pekerjaan rumah (PR)” menyangkut batas laut teritorial NKRI telah menanti pemerintah Indonesia dan juga TNI AL selaku kekuatan pertahanan negara di laut. Hal ini masih ditambah dengan belum diakuinya secara internasional wilayah terluar perairan Indonesia yang disebut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Jika, permasalahan batas laut teritorial yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, masih tetap tidak dipandang sebagai persoalan serius, maka janganlah heran jika kelak ada lagi kasus semacam sengketa Ambalat atau aneksasi.

     Bagi TNI AL, barangkali apa yang pernah diperjuangkan oleh para pejuang bahari di masa lalu dalam mempertahankan kedaulatan negerinya, dapat menjadi cerminan untuk lebih meningkatkan kemampuan dan kekuatan unsur-unsurnya agar dapat mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Selain itu, TNI AL juga diharapkan dapat menjadi semacam kekuatan pressure bagi pemerintah untuk lebih tegas dalam menyelesaikan permasalahan batas laut teritorial, agar tidak ada lagi wilayah NKRI yang”hilang” atau “dijarah” oleh negara lain.


JALESVEVA JAYAMAHE

JUSTRU DI LAUT KITA JAYA